Header Ads

Mayotte dan Taiwan, Geopolitik di Persimpangan Klaim


Pulau Mayotte di Samudra Hindia dan Taiwan di Asia Timur, meski terpisah ribuan kilometer, memiliki kemiripan geopolitik yang menarik. Keduanya menjadi wilayah yang diklaim oleh negara tetangga, meskipun secara de facto memiliki pemerintahan dan administrasi sendiri yang didukung kekuatan besar. Mayotte masih diklaim oleh Uni Komoro, sementara Taiwan menjadi bagian tak terpisahkan dari Tiongkok menurut pandangan Beijing.

Kisah Mayotte bermula pada 1974 saat referendum kemerdekaan di Kepulauan Komoro. Tiga pulau utama—Grande Comore, Anjouan, dan Mohéli—memilih merdeka dari Prancis, sedangkan Mayotte memutuskan tetap bersama Paris. Meski hasil referendum itu diakui oleh komunitas internasional untuk ketiga pulau lainnya, Komoro terus menganggap Mayotte sebagai wilayahnya yang diduduki.

Secara resmi, Mayotte kini merupakan departemen dan wilayah administratif Prancis. Pulau ini masuk dalam strategi Indo-Pasifik Prancis, mengingat letaknya yang strategis di jalur pelayaran Samudra Hindia. Seperti halnya Taiwan yang menjadi kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur, Mayotte merupakan pos pengaruh geopolitik Paris di kawasan regional yang dinamis.

Di sisi lain, Komoro hingga kini belum menyerah atas klaimnya. Ketegangan meningkat ketika Prancis menggelar operasi besar untuk mengusir imigran ilegal dari Mayotte, mayoritas berasal dari pulau-pulau Komoro tetangga. Situasi ini semakin rumit di tengah gelombang migrasi regional dan politik identitas yang menguat.

Dalam konteks geopolitik global, posisi Mayotte bisa disandingkan dengan Taiwan. Keduanya memiliki pemerintah sendiri, diakui oleh negara besar pelindung, dan menjadi batu sandungan dalam hubungan bilateral kawasan. Taiwan tak diakui PBB sebagai negara merdeka karena tekanan Tiongkok, sementara Mayotte didukung Prancis dalam berbagai forum internasional, meski ditentang Komoro.

Jika skenario Mayotte kembali ke pangkuan Komoro dipertimbangkan, dampaknya akan sangat kompleks. Bagi Komoro, kembalinya Mayotte berarti penambahan wilayah dan populasi, serta peluang ekonomi dari sumber daya laut dan potensi pariwisata. Namun, tantangan infrastruktur, administrasi, dan integrasi sosial akan menjadi beban berat bagi negara kecil yang ekonominya masih rapuh itu.

Bagi Prancis, kehilangan Mayotte bisa berarti kemunduran dalam pengaruh geopolitik di Samudra Hindia. Posisi Mayotte sangat penting untuk jalur pelayaran internasional dan kepentingan militer Prancis di kawasan Indo-Pasifik. Apalagi, pulau ini juga menjadi pangkalan penting dalam operasi kemanusiaan dan pengawasan perairan strategis.

Di sisi penduduk lokal, dilema identitas akan muncul. Mayoritas warga Mayotte saat ini memilih tetap bersama Prancis karena alasan kesejahteraan ekonomi, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan keamanan sosial yang jauh lebih baik dibandingkan Komoro. Pergantian status politik bisa memicu ketegangan internal dan eksodus penduduk.

Secara demografis, Mayotte dihuni sekitar 330.000 jiwa, mayoritas beragama Islam, dengan budaya yang masih sangat kental dengan adat istiadat Afrika Timur. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, urbanisasi, modernisasi, dan imigrasi telah mengubah struktur sosialnya, menjadikannya salah satu wilayah dengan populasi termuda di Prancis.

Perekonomian Mayotte banyak bergantung pada dana bantuan dari pemerintah Prancis dan Uni Eropa. Tingkat pengangguran yang tinggi serta keterbatasan lapangan kerja di sektor formal membuat banyak warga menggantungkan hidup dari ekonomi informal dan transfer dana negara.

Sementara itu, seperti halnya Taiwan yang terus mengembangkan hubungan ekonomi dan diplomatik informal dengan negara-negara sekutunya, Mayotte juga menjadi bagian penting dari jaringan diplomasi Prancis di kawasan Samudra Hindia, terutama dalam menghadapi pengaruh Tiongkok dan India.

Jika Komoro mampu menawarkan jaminan kesejahteraan, fasilitas publik, dan integrasi bertahap, peluang untuk reunifikasi tetap ada, meski kecil. Skenario ini hanya mungkin terjadi dengan keterlibatan langsung komunitas internasional, baik dalam hal diplomasi maupun bantuan ekonomi.

Risiko geopolitik tentu tak bisa dihindari. Negara-negara pesaing Prancis di kawasan mungkin memanfaatkan momentum tersebut untuk memperluas pengaruhnya. Ketegangan regional bisa meningkat, terutama jika wilayah lain di Samudra Hindia mulai menggugat status teritorial masing-masing.

Dari segi hukum internasional, posisi Mayotte sebenarnya mirip dengan Taiwan. Keduanya berada dalam status de facto yang stabil namun tidak sepenuhnya diterima oleh komunitas internasional tanpa perdebatan. Meski begitu, kekuatan negara pelindung menjadi penentu utama keberlanjutan status quo.

Prancis baru-baru ini mengucurkan dana hingga 3 miliar euro untuk membangun kembali Mayotte usai diterjang badai besar. Investasi ini menjadi sinyal kuat bahwa Paris tidak berniat melepas pulau strategis tersebut, sebagaimana AS juga terus mempertahankan komitmennya terhadap Taiwan di tengah ancaman Beijing.

Secara historis, isu klaim teritorial seperti ini sering menjadi sumber ketegangan jangka panjang. Mayotte dan Taiwan sama-sama menggambarkan bagaimana warisan kolonial dan geopolitik modern bertemu dalam satu titik konflik yang hingga kini belum menemukan penyelesaian.

Kedua kasus ini juga memperlihatkan bagaimana suara rakyat lokal sering kali berbeda dengan kepentingan geopolitik kawasan. Masyarakat Mayotte, seperti rakyat Taiwan, lebih memilih stabilitas, kesejahteraan, dan jaminan perlindungan daripada bergabung kembali dengan negara induk yang menawarkan masa depan penuh ketidakpastian.

Selama negara pelindung tetap kuat dan berkomitmen mempertahankan posisi mereka, baik Mayotte maupun Taiwan kemungkinan besar akan terus bertahan dalam status quo geopolitik yang sensitif ini. Namun, dinamika kawasan dan tekanan internasional suatu saat bisa memaksa semua pihak duduk di meja perundingan.

Powered by Blogger.