Jejak Mandailing di Balik Kejayaan Muara Takus, Kampar, Riau
Sejarah Kerajaan Muara Takus, sebuah entitas purba di jantung Sumatera, kini kembali terkuak, membawa serta dugaan menarik tentang keterlibatan masyarakat Mandailing dalam narasi kejayaannya.
Berdasarkan hikayat kuno, fondasi kerajaan ini dipercaya diletakkan oleh Putri Sri Dunia, seorang bangsawan yang bertolak dari Pariangan Padang Panjang, Sumatera Barat, bersama rombongannya. Setibanya di sana, Putri Sri Dunia dipersunting oleh seorang Raja Hindu, dan dari persatuan inilah, Kerajaan Muara Takus didirikan, diduga kuat antara abad ke-4 hingga ke-11 Masehi, sejalan dengan perkiraan usia kompleks candi dan peradaban yang ditemukan.
Narasi berlanjut dengan kembalinya Raja Hindu ke tanah asalnya, menyisakan kekosongan yang kemudian diisi oleh segerombolan masyarakat yang digambarkan sebagai "orang Batak" penganut agama Hindu. Dalam konteks sejarah dan geografi Sumatera, tidak menutup kemungkinan "orang Batak" yang dimaksud adalah masyarakat Mandailing, yang kini sering kali dikategorikan sebagai bagian dari etnis Minangkabau, namun pada masa itu mungkin masih memiliki identitas yang lebih terpisah atau dianggap bagian dari rumpun Batak secara luas. Kehadiran mereka di Muara Takus, meskipun hanya bersifat sementara karena kota kerajaan ini kemudian ditinggalkan, memberikan dimensi baru pada pemahaman tentang migrasi dan interaksi antaretnis di Nusantara kuno.
Puncak kejayaan Muara Takus kemudian diteruskan melalui garis keturunan Putri Sri Dunia yang kembali menjalin ikatan dengan bangsawan Minangkabau. Ia dinikahkan dengan seorang Datuk terkemuka dari Minangkabau, dan dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Induk Dunia. Sosok inilah yang kelak didapuk sebagai Raja Muara Takus, menandai era baru kepemimpinan yang berakar kuat pada tradisi Minangkabau.
Keturunan Raja Induk Dunia, yang dikenal sebagai Raja Pamuncak Datuk di Balai, melanjutkan estafet kekuasaan, mewarisi kebesaran dan pengaruh kerajaan.
Raja terakhir yang dicatat dalam sejarah Muara Takus adalah Raja Bicau, seorang penguasa yang memimpin kerajaan yang konon begitu luas, hingga dijelajahi oleh seekor kucing pun memerlukan waktu berbulan-bulan untuk kembali ke titik awal.
Luasnya wilayah kekuasaan ini mengindikasikan tingkat peradaban dan organisasi yang maju pada masanya.
Kisah-kisah tentang kejayaan Muara Takus ini tidak hanya hidup dalam tuturan lisan, tetapi juga terekam dalam catatan sejarah, seperti yang ditulis oleh J.W. Yzerman dalam karyanya, "Beschrijving Van De Buddhistische Bouwwerken Te Muara Takus," sebuah sumber berharga untuk memahami kompleksitas kebudayaan dan arsitektur di wilayah tersebut.
Salah satu peninggalan fisik yang paling menonjol dari kejayaan Muara Takus adalah Istana Datuk Rajo Duo Balai.
Meskipun telah lapuk dimakan usia, dengan perkiraan usia lebih dari dua abad, struktur bangunannya masih kokoh berdiri, menjadi saksi bisu kemegahan masa lalu. Di depan istana, terdapat sebuah rangkiang, lumbung padi tradisional, yang memiliki kemiripan dengan rangkiang yang ditemukan di Sumatera Barat, meskipun dengan perbedaan pada tonggak yang lebih rendah. Ini menguatkan dugaan adanya hubungan budaya dan arsitektur yang erat antara Muara Takus dengan kebudayaan Minangkabau di Sumatera Barat, serta kemungkinan interaksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Keberadaan Kerajaan Muara Takus dan jejak-jejaknya yang masih terlihat hingga kini, termasuk artefak dan struktur bangunan, menawarkan jendela untuk memahami kompleksitas sejarah dan peradaban di Sumatera. Spekulasi tentang keterlibatan masyarakat Mandailing, yang kadang juga dikenal sebagai Batak Mandailing, dalam sejarah Muara Takus menambah lapisan menarik pada narasi ini.
Meskipun saat ini Mandailing dikategorikan sebagai bagian dari Minang, identitas mereka di masa lampau mungkin lebih cair, berinteraksi dengan berbagai kelompok etnis di sekitarnya.
Konteks sosial dan etnis di wilayah Kampar, di mana Muara Takus berada, juga penting untuk dipahami. Suku utama di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, adalah Suku Kampar atau Orang Ocu, yang merupakan bagian dari kelompok etnis Melayu.
Selain itu, terdapat beberapa suku kecil lain yang turut mendiami Kampar, seperti Suku Piliang, Suku Domo, Suku Putopang, Suku Kampai, dan juga Suku Mandailing. Komposisi masyarakat yang beragam ini menunjukkan bahwa wilayah Kampar telah lama menjadi titik pertemuan berbagai budaya dan etnis, memperkaya khazanah sejarah dan peradaban di Sumatera.
Penelitian lebih lanjut terhadap situs-situs arkeologi di Muara Takus, digabungkan dengan analisis terhadap hikayat lokal dan catatan sejarah, akan semakin memperjelas peran berbagai kelompok etnis, termasuk kemungkinan masyarakat Mandailing, dalam membangun dan mewarisi kejayaan Kerajaan Muara Takus.
Kisah ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sebuah narasi hidup yang terus mengajak kita untuk menggali lebih dalam, memahami akar peradaban, dan menguak identitas budaya yang terjalin erat dalam sejarah nusantara.
Post a Comment