Header Ads

Israel Kembali Rampas Tanah dan Rumah Warga Suriah di Quneitra


Di tengah ketegangan yang terus meningkat di kawasan Timur Tengah, Israel kembali menunjukkan ambisinya dengan melakukan serangkaian pelanggaran hukum internasional di Suriah. Wilayah Quneitra yang selama ini menjadi simbol keteguhan rakyat Suriah di perbatasan Dataran Tinggi Golan, kembali menjadi sasaran operasi darat tentara Israel. Serangan ini dilakukan berbarengan dengan agresi militer ke Lebanon dan genosida yang terus terjadi di Gaza.

Israel tidak hanya menyerang wilayah Gaza dan Tepi Barat, namun secara sistematis mulai melakukan penggalian dan perampasan lahan di Provinsi Quneitra, Suriah. Operasi ini dimulai dengan penggalian hutan di kawasan cagar alam Jubata al-Khashab yang selama ini dikenal sebagai paru-paru hijau bagi wilayah tersebut. Hutan-hutan pinus dan oak yang telah berusia ratusan tahun kini dibabat habis.

Aktivis lokal Ahmad Kiwan menyatakan bahwa operasi ini tidak sekadar serangan militer, tetapi upaya sistematis untuk menguasai lahan Suriah secara sepihak. Warga dipaksa meninggalkan rumahnya hanya dalam waktu satu jam sebelum alat berat Israel mulai menggali lahan dan menghancurkan pepohonan. Di saat yang sama, jalan-jalan desa ditutup menggunakan barikade sementara.

Kiwan menambahkan bahwa Israel telah mengambil alih menara pengamatan kebakaran di kawasan tersebut dan menjadikannya pos militer permanen. Selain menjadi bencana lingkungan, tindakan ini memutus akses warga terhadap lahan pertanian dan padang rumput yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Ribuan pohon oak dan pinus berusia ratusan tahun ditebang dan sebagian besar kayunya dipindahkan ke wilayah Israel.

Mantan Kepala Dinas Pertanian Quneitra, Ahmad Deeb, menyebutkan bahwa penggalian besar-besaran juga terjadi di kawasan Taranjeh Forest dan Jubata al-Khashab Nature Reserve, yang luasnya mencapai lebih dari 1300 dunam. Hingga saat ini, sekitar 1000 dunam kawasan hutan telah dihancurkan oleh operasi militer Israel.

Selain itu, lebih dari 13 keluarga di kawasan al-Shahhar dipaksa meninggalkan rumah mereka menyusul keluarnya perintah pengosongan lahan dari tentara Israel. Israel bahkan menggali parit sedalam enam meter dengan gundukan setinggi empat meter di sekitarnya tanpa memberi penjelasan kepada warga tentang maksud proyek tersebut.

Dalam dua bulan terakhir, lebih dari 1860 dunam hutan di wilayah Kodna juga telah dihancurkan oleh Israel. Selain itu, 50 dunam lahan di sepanjang jalan penghubung Kota al-Salam ke Quneitra, yang ditumbuhi pohon eucalyptus dan cemara, turut digusur. Kejahatan lingkungan dan perampasan lahan ini dilakukan tanpa perhatian serius dari komunitas internasional.

Deeb menyatakan bahwa pihaknya telah menghubungi Kementerian Pertanian Suriah untuk menyampaikan laporan pelanggaran ini. Pemerintah Suriah, melalui kementerian terkait, berjanji akan melakukan negosiasi dengan otoritas internasional guna menghentikan tindakan sewenang-wenang Israel di kawasan tersebut.

Jurnalis Nisrin Alaa al-Din dari Quneitra menegaskan bahwa tindakan Israel ini secara terang-terangan melanggar hukum internasional. Sebagai kekuatan pendudukan, tindakan penggalian dan perampasan lahan ini jelas dikategorikan sebagai kejahatan perang yang seharusnya mendapat perhatian serius dari dunia internasional.

Lebih jauh, Nisrin menilai bahwa apa yang dilakukan Israel bukan sekadar pelanggaran insidental, melainkan bagian dari kebijakan sistematis untuk menguasai lahan Suriah di luar Dataran Tinggi Golan. Tindakan seperti ini telah dilakukan berulang kali di kawasan Kodna dan kini kembali di Jubata al-Khashab.

Saat genosida di Gaza masih terus berlanjut saban hari dengan korban tewas rata-rata 50-100 per hari diantrian makana pengungsi, pemboman saban hari di Lebanon serta penguasaan tanah, teror ke warga Tepi Barat oleh militer dan pembiaran pemukim ilegal merusak dan mencuri harta benda warga Palestina, wilayah-wilayah Suriah yang berbatasan dengan Israel pun kembali menjadi korban. Quneitra, yang seharusnya berada di belakang garis gencatan senjata PBB, kini berubah menjadi wilayah operasi militer terbuka. Itu di luar wilayah Dataran Tinggi Golan yang secara juga masih milik Suriah meski telah diganti namanya menjadi Dataran Tinggi Trump oleh Israel.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang kembali melontarkan ancaman terhadap Iran dan memberi lampu hijau bagi Israel untuk meluaskan operasinya, membuat situasi kawasan kian memanas. Banyak pengamat menilai bahwa tindakan Israel ini merupakan upaya memanfaatkan kekacauan regional demi memperluas wilayah pendudukannya.

Aktivis kemanusiaan di Suriah mengecam keras tindakan Israel ini. Mereka menyebutnya sebagai bentuk kolonialisme modern yang menggunakan kekuatan militer dan intimidasi terhadap warga sipil untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Operasi semacam ini dinilai melanggengkan ketidakadilan di Timur Tengah.

Sejumlah pihak menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk segera mengambil tindakan nyata. Namun hingga kini, belum ada keputusan konkret yang diambil badan dunia tersebut terhadap pelanggaran Israel di Quneitra. Suriah pun harus kembali berjuang sendirian menghadapi agresi di tanahnya.

Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin wilayah-wilayah strategis di sepanjang perbatasan Suriah akan jatuh ke tangan Israel. Selain ancaman bagi kedaulatan Suriah, kerusakan lingkungan akibat penggundulan hutan dan perusakan kawasan konservasi akan membawa dampak jangka panjang bagi ekosistem lokal.

Tindakan Israel ini juga menjadi peringatan bagi negara-negara di kawasan bahwa agresi berbasis kekuatan militer masih menjadi alat utama dalam percaturan geopolitik regional. Meski berkali-kali dikecam, Israel tetap bergerak tanpa sanksi berarti.

Dalam situasi demikian, suara rakyat Suriah di Quneitra tetap lantang menyuarakan perlawanan. Meski rumah dan lahan mereka dirampas, mereka menolak tunduk terhadap upaya pendudukan Israel. Quneitra kembali menjadi simbol perlawanan di selatan Suriah, di tengah diamnya komunitas internasional.

Powered by Blogger.