Header Ads

Isu Moneter Picu Ketegangan antara Pagaruyung dan Aceh di Masa Lalu

Pada abad ke-16, hubungan antara Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Pagaruyung di Ranah Minangkabau pernah mencapai titik panas yang berujung pada penyerbuan ke pesisir Sumatra Barat. Pangkal persoalannya ternyata bukan sekadar perselisihan politik atau perebutan wilayah, melainkan soal utang-piutang yang menjerat mahkota Pagaruyung kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh.

Segalanya bermula ketika Maharaja Dewana, penguasa Pagaruyung saat itu, menikahi Putri Ratna Kemala dari Aceh. Pernikahan ini sejatinya menjadi simbol persahabatan dan penguatan hubungan diplomasi antar dua kerajaan besar di Sumatra. Namun, di balik pesta megah itu, terselip perjanjian moneter yang belakangan menjadi duri dalam hubungan mereka.

Baitul Mal, lembaga keuangan Kesultanan Aceh, mencatat utang Maharaja Dewana yang belum terbayar sejak setahun setelah pernikahan berlangsung. Tagihan resmi pun dikirim, bukan langsung kepada Maharaja, melainkan kepada Putri Ratna Kemala. Sebuah langkah diplomatik yang mungkin dimaksudkan untuk memperhalus tuntutan, namun justru berbuntut panjang.

Maharaja Dewana berjanji akan membahas persoalan tersebut dalam sidang Besar Empat Balai, lembaga musyawarah adat tertinggi di Pagaruyung. Namun, upaya itu menemui jalan buntu karena tidak satu pun anggota Besar Empat Balai memenuhi panggilan baginda. Situasi pun kian pelik saat tagihan kedua kembali datang tiga bulan kemudian.

Kondisi kas kerajaan yang kering membuat Maharaja Dewana gusar. Ia membalas surat ke Aceh dengan janji pembayaran setelah hasil pungutan pelabuhan-pelabuhan pesisir terkumpul. Baitul Mal masih bersabar, memberi tenggat waktu tambahan tiga bulan, namun utang itu tetap belum lunas.

Surat ketiga yang kembali dialamatkan kepada Putri Ratna Kemala menjadi pemicu utama keretakan rumah tangga kerajaan. Sang putri merasa malu sekaligus terhina. Ketika ia mengutarakan hal itu kepada Maharaja Dewana, sang baginda justru murka dan menganggap sang permaisuri membesar-besarkan urusan negara.

Pertengkaran hebat pun tak terelakkan. Di puncak amarahnya, Maharaja Dewana menceraikan Putri Ratna Kemala. Putri Aceh itu lalu meninggalkan istana Pagaruyung, menginap semalam di rumah seorang sahabat, lalu berangkat ke Koto Gadang, Luak Agam. Di sana, ia hidup sederhana, mengajarkan seni tenun dan sulaman kepada para gadis nagari.

Meski Maharaja Dewana berkali-kali mengirim utusan untuk membujuk sang putri pulang, semua usaha itu ditolak mentah-mentah. Putri Ratna Kemala lantas mengutus orang kepercayaannya ke Kesultanan Aceh, melaporkan apa yang menimpa dirinya. Berita ini membuat Sultan Aceh marah besar.

Pada tahun 1528, tiga tahun pasca pernikahan tersebut, Sultan Aceh segera memanggil para wazirnya dan memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menjemput sang putri. Namun ketika pasukan tiba di Koto Gadang, sang putri telah berpindah ke Natal, sebuah pelabuhan penting di pesisir barat.

Di Natal, Putri Ratna Kemala diterima oleh Raja setempat. Dengan restu Sultan Aceh, ia pun dinikahkan dengan Raja Natal, mempererat kembali hubungan Aceh dengan pesisir barat. Tak berhenti di situ, Kesultanan Aceh mulai menggerakkan kekuatan militer ke bandar-bandar pesisir.

Bandar Muar atau Tiku menjadi wilayah pertama yang dikuasai Aceh, bahkan namanya diubah menjadi Bandar Khalifah. Secara bertahap, tentara Aceh merebut Pariaman, Padang, Bayang, Painan hingga Indrapura. Dalam kurun 11 tahun, hampir seluruh pesisir barat Minangkabau berada di bawah kendali Kesultanan Aceh.

Pada awal 1539, Aceh pun menundukkan kerajaan-kerajaan nagari di sepanjang pantai barat. Ciri khas arsitektur rumah bergonjong di pesisir mulai diganti dengan rumah gadang berlangkan, atau dikenal sebagai rumah Surambi Aceh. Lambang dominasi budaya dan kekuasaan Aceh di rantau Minangkabau.

Persoalan akhirnya mencapai titik damai saat Raja Bagewang, salah seorang bangsawan tinggi Pagaruyung, mengambil alih urusan diplomasi. Diadakanlah perundingan antara Aceh dan Pagaruyung yang menghasilkan kesepakatan damai.

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa kawasan pesisir barat —terkecuali Pasaman— resmi menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Sebagai imbalan, Pagaruyung dibebaskan dari semua utang piutang terhadap Kesultanan Aceh, menutup satu bab pahit dalam hubungan antar dua kerajaan.

Aceh pun memperoleh hak monopoli dagang di sepanjang pesisir barat. Segala hasil bumi dan rempah-rempah yang diekspor ke mancanegara wajib melalui pelabuhan-pelabuhan di bawah otoritas Aceh. Sementara itu, pemerintahan adat dan kerajaan nagari tetap diizinkan berjalan seperti biasa.

Kisah ini menjadi salah satu catatan penting betapa persoalan moneter dapat memicu konflik antar kerajaan. Sebuah episode sejarah di mana soal utang dan harga diri kerajaan berujung pada pergeseran kekuasaan dan perubahan budaya di pesisir barat Sumatra.

Peristiwa itu pula yang membentuk peta kekuatan baru di Sumatra bagian barat pada abad ke-16. Kesultanan Aceh kian kukuh sebagai kekuatan maritim utama, sementara Pagaruyung mulai berfokus menjaga kestabilan wilayah pedalaman.

Sejarah kemudian mencatat bahwa hubungan kedua kerajaan sempat kembali membaik di masa-masa selanjutnya, namun bayang-bayang konflik moneter di masa lalu selalu menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus mereka.


Powered by Blogger.