Header Ads

Jejak Elam dan Persia di Nusantara Kuno

Hubungan antara kawasan Teluk Persia, khususnya Elam yang kini dikenal sebagai Luristan di Iran, dengan kepulauan Nusantara ternyata telah berlangsung jauh sebelum kedatangan Islam. Catatan sejarah menyebutkan bahwa wilayah Elam merupakan salah satu kekuatan politik dan budaya penting di kawasan Timur Dekat sejak milenium ketiga sebelum Masehi. Dari ibukotanya di Susa, Elam menjadi pusat perdagangan dan persinggahan para pelaut serta pedagang dari berbagai negeri, termasuk dari kawasan Asia Tenggara.

Sejak zaman peradaban Mesopotamia, kawasan Teluk Persia sudah menjadi salah satu rantau penting bagi pelaut dan saudagar Nusantara, terutama mereka yang berasal dari kawasan Sayabiga atau dikenal juga sebagai Zabag dalam sumber-sumber Arab. Para pelaut ini menjalin kontak dagang dengan negeri-negeri di sepanjang Teluk Persia, termasuk Elam, yang kala itu menjadi pintu gerbang perdagangan dunia kuno.

Kebudayaan Elam yang mencapai puncak kejayaannya di era Bronze Age tidak hanya berhubungan dengan bangsa Sumeria dan Akkadia, tetapi juga tercatat dalam literatur klasik sebagai kawasan penting yang menjembatani interaksi bangsa-bangsa dari timur dan barat. Pelabuhan-pelabuhan di kawasan Khuzestan menjadi titik temu barang-barang langka seperti rempah, kayu gaharu, kapur barus, dan emas dari kepulauan Nusantara.

Dalam perkembangan berikutnya, budaya maritim di Nusantara berkembang pesat seiring dengan terbukanya jalur pelayaran internasional menuju Teluk Persia dan Laut Arab. Saudagar Nusantara membawa hasil bumi dan komoditas langka menuju pelabuhan Elam, yang kala itu menjadi bagian dari jalur sutra maritim. Sebaliknya, dari Elam dan negeri-negeri di sekitarnya, mereka membawa barang logam, kain, dan perhiasan yang dihargai tinggi di Nusantara.

Ketika peradaban Elam runtuh dan wilayah tersebut kemudian dikuasai oleh dinasti Persia seperti Achaemenid dan Sassanid, hubungan dagang dengan Nusantara tidak terputus. Bahkan pada masa kejayaan Persia, migrasi orang-orang dari kawasan Luristan ke Nusantara mulai tercatat dalam berbagai manuskrip Arab dan Persia. Mereka dikenal sebagai pelaut ulung dan saudagar yang menjelajahi Laut Hindia hingga mencapai Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

Menurut sejumlah catatan kuno dari Dinasti Tang, orang-orang Arab dan Persia telah menjalin kontak dagang dengan Kerajaan Kalingga di Jawa pada abad ke-7. Pada masa Ratu Sima, pelabuhan-pelabuhan Nusantara menjadi tempat singgah para pedagang dari Teluk Persia. Dalam rentang itu pula diperkirakan terdapat pelaut-pelaut keturunan Elamite yang bermigrasi ke Nusantara, berbaur dengan komunitas lokal dan membentuk koloni-koloni kecil.

Masuknya Islam ke Nusantara sejak abad ke-7 M turut memperkuat gelombang migrasi dari Persia ke wilayah kepulauan ini. S.Q. Fatimi mencatat beberapa keluarga besar Persia yang bermigrasi ke Nusantara di abad ke-10 era Abbasiyah, termasuk keluarga Lor yang mendirikan permukiman di Jawa, dan keluarga Syiah yang membangun komunitas di Sumatra Timur, di daerah yang kelak dikenal dengan nama Siak.

Keluarga Jawani al-Kurdi yang berasal dari kawasan Iran juga turut ambil bagian dalam diaspora ini. Mereka dikenal dengan perannya dalam menyusun sistem tulisan Arab Melayu atau Khat Jawi, yang kemudian menjadi identitas penting dalam budaya literasi Nusantara Islam. Jejak budaya Persia ini masih dapat dirasakan dari bentuk-bentuk seni kaligrafi dan arsitektur masjid-masjid tua di pesisir Sumatra dan Jawa.

Dalam legenda Islamisasi Jawa, tercatat kisah tentang Sultan al-Gabah dari negeri Rum yang mengirim 20.000 keluarga muslim ke Jawa. Meski banyak dari mereka tewas dalam konflik dengan penduduk setempat, peristiwa ini menunjukkan bagaimana gelombang migrasi Persia memiliki peran signifikan dalam awal perkembangan Islam di kepulauan ini. Dari sisa komunitas tersebut, lahir tokoh-tokoh penting seperti Syaikh Subakir, seorang ulama sakti asal Persia.

Syaikh Subakir dikenal luas di tanah Jawa sebagai wali penyebar Islam yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Ia dipercaya menanam ‘tumbal’ di titik-titik angker di Jawa agar wilayah itu dapat dihuni oleh umat Islam. Makam panjangnya yang tersebar di pantai utara Jawa menjadi bukti fisik dari jejak Persia yang tertanam dalam tradisi keagamaan lokal.

Di pesisir Sumatra, nama-nama kampung dan kota seperti Leran, Pasai, dan Siak diduga kuat berasal dari koloni-koloni Persia yang bermukim di sana. Samudera Pasai juga berhubungan dengan Kesultanan Aru Barumun yang ada di sekitar Padang Lawas dan Labuhanbilik.

Hubungan dagang dan budaya dengan Teluk Persia yang telah terjalin sejak masa Elam kemudian terus berlanjut di masa Islam. Bahkan pada masa Kesultanan Aceh, hubungan ini tetap erat lewat jaringan perdagangan rempah dan ulama.

Ketika Aceh muncul sebagai kekuatan maritim terbesar di wilayah barat Nusantara pada abad ke-16, banyak pedagang dan ulama Persia yang bermukim di Banda Aceh dan wilayah pesisir barat Sumatra. Mereka membawa serta tradisi keilmuan, kaligrafi, serta adat istiadat Persia yang kemudian berbaur dengan budaya lokal.

Di Situs Bongal, Tapanuli Tengah, para arkeolog mendapati sejumlah artefak yang berhubungan dengan budaya Persia pra Islam dan kini disimpan di Museum Fansuri Abad Pertama Hijriyah. Ini menunjukkan hubungan yang tak bisa dipungkiri antara Barus dan Persia di masa lalu 

Di Jawa, pengaruh Persia terlihat dari sistem tarekat dan kesenian Islam yang berkembang di pesantren-pesantren awal. Beberapa seni tradisional seperti syair dan rebana diyakini memiliki akar budaya dari kawasan Luristan dan Teluk Persia, dibawa oleh ulama-ulama migran sejak abad ke-10.

Jejak hubungan kuno Nusantara dan Elam serta Teluk Persia juga terekam dalam artefak arkeologi berupa tembikar, manik-manik, dan logam yang ditemukan di Sumatra dan Kalimantan. Barang-barang itu memiliki kemiripan dengan temuan di situs-situs Elam dan Persia selatan.

Meski peradaban Elam telah lama runtuh, keturunannya yang dikenal sebagai Proto-Lur terus mewariskan tradisi pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia. Hingga masa Islam, keturunan Luristan inilah yang kerap muncul dalam catatan migrasi dan perdagangan ke Nusantara.

Sejarah panjang hubungan ini menunjukkan betapa kuatnya interaksi lintas budaya dan agama antara Nusantara dan kawasan Teluk Persia. Mulai dari era Elam, peradaban Mesopotamia, hingga masa kejayaan Islam, hubungan ini membentuk fondasi penting bagi jalur perdagangan dan penyebaran agama di Asia Tenggara.

Keterkaitan antara Elam, Persia, dan Nusantara bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga pertukaran intelektual, seni, dan sistem kepercayaan. Bukti-bukti arkeologis dan tradisi lisan yang masih lestari menjadi saksi betapa eratnya persentuhan dua kawasan kuno yang terhubung lewat samudra luas.


Powered by Blogger.