Jejak Panjang Suku Bugis di Sumatera
Suku Bugis, salah satu etnis pelaut ulung dari Sulawesi Selatan, bukanlah nama asing dalam sejarah Sumatera, khususnya di wilayah Sumatera Utara. Meski selama ini kisah migrasi dan pengaruh mereka sering luput dari perhatian arus utama sejarah nasional, berbagai jejaknya masih nyata ditemukan di sejumlah kawasan, mulai dari pesisir barat hingga pedalaman Sumatera. Bahkan, dalam tradisi masyarakat Mandailing Angkola, marga Lubis dipercaya memiliki hubungan erat dengan leluhur Bugis.
Menurut Ridwan Selian Te, peneliti sejarah dari Aceh, "Sebelum datang Belanda ke Toba (tahun 1877) penduduk Toba adalah Melayu, Aceh dan Bugis (Lubis)," tulisnya dalam akun Facebooknya.
Dalam tradisi lisan Mandailing, marga Lubis sering dikaitkan dengan migrasi pelaut Bugis yang masuk ke kawasan Sumatera Utara sejak abad-abad lampau. Hubungan ini tak lepas dari aktivitas dagang dan pelayaran Bugis yang telah terkoneksi dengan jalur maritim barat Nusantara, termasuk Sumatera, jauh sebelum kedatangan kolonial Eropa. Bugis dikenal sebagai bangsa pelaut pemberani yang menjelajah hingga ke Samudera Hindia dan Lautan Hindia, termasuk ke bandar-bandar tua seperti Barus, Sibolga, hingga Panyabungan.
Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang oleh orang Bugis dikenal sebagai Senrijawa, pelaut-pelaut Bugis telah menjadikan Sumatera sebagai salah satu titik persinggahan utama. Selain berdagang, mereka juga membangun perkampungan-perkampungan kecil yang perlahan berbaur dengan masyarakat lokal. Beberapa di antaranya masih dapat dijumpai di Sumatera Selatan, Riau, hingga Nias, di mana nama kampung Bugis masih lestari hingga kini.
Selain itu, ekspedisi-ekspedisi besar Nusantara seperti Pamalayu yang dilancarkan Singhasari dan Majapahit ke Sumatera juga melibatkan prajurit dan pelaut Bugis. Catatan lisan di beberapa daerah bahkan menyebutkan bahwa sebagian besar armada pelayaran Nusantara pada masa itu diisi oleh orang Bugis yang mahir berlayar dan memiliki kapal-kapal besar jenis Pinisi.
Keterlibatan orang Bugis dalam ekspedisi militer dan dagang Nusantara juga tercatat pada era Kesultanan Demak. Sejumlah pasukan Bugis yang ikut bersama laskar Demak menyebar hingga ke pesisir timur Sumatera. Jejak mereka bisa ditelusuri di kampung-kampung pesisir seperti di Riau, Jambi, dan Sumatera Utara yang hingga kini masih mempertahankan tradisi Bugis dalam upacara adat dan struktur sosial.
Sejumlah ekspedisi pelayaran langsung dari Sulawesi Selatan ke Sumatera juga berpengaruh besar dalam persebaran masyarakat Bugis di Sumatera. Salah satunya adalah ekspedisi Karaeng Samarluka dan Arung Palakka. Kedua tokoh penting dalam sejarah Bugis ini membawa serta pengikut mereka menuju wilayah barat Nusantara, termasuk ke Sumatera, sebagai bagian dari perjuangan dan diaspora Bugis di luar Sulawesi.
Hubungan erat Bugis dengan wilayah Minangkabau, Kesultanan Inderapura, dan Barus juga terekam dalam berbagai hikayat dan tarombo Batak. Salah satu figur penting yang disebut dalam tarombo Batak sebagai Guru Tateabulan, diyakini oleh sebagian sejarawan memiliki nama asli Daeng Mangarata, seorang pelaut dan tokoh Bugis yang menetap di wilayah Batak.
Di Aceh, keterlibatan Bugis bahkan mencapai puncaknya ketika dinasti terakhir Kesultanan Aceh berasal dari keturunan Bugis. Dalam peta Kesultanan Aceh yang dikirim ke Turki Utsmani sebelum invasi Belanda, wilayah Batak dan Nias terlihat jelas merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Aceh. Banyak tokoh militer dan pejabat istana Aceh saat itu adalah keturunan Bugis.
Salah satu kisah menarik tentang migrasi Bugis ke Sumatera adalah masuknya Suku Bugis ke Bengkulu pada awal abad ke-17. Saat itu, Daeng Makrupa, putra mahkota dari Negeri Tujuh Wajo di Sulawesi, memutuskan merantau ke barat setelah keinginannya untuk berperang tak disetujui sang ayah. Perjalanan panjangnya membawanya ke perairan Inderapura, di mana kapal Pinisi yang ditumpanginya karam akibat badai hebat.
Beruntung, Daeng Makrupa selamat dan diterima baik oleh Sultan Inderapura. Kepribadiannya yang rendah hati dan keberanian yang luar biasa membuatnya dihormati dan akhirnya dinikahkan dengan adik Sultan Inderapura. Dari pernikahan ini lahirlah Sutan Balinam atau Daeng Mabella, sosok yang kelak menjadi legenda di wilayah pesisir barat Sumatera.
Kisah kepahlawanan Sutan Balinam terdengar hingga Bengkulu. Di sana, Raja Sungai Lemau memintanya untuk memberantas perompak yang meresahkan rakyat. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Sutan Balinam kembali mendapat kehormatan dinikahkan dengan Encik Siah, anak Datuk Pasar Bangkahulu. Jejak keturunan Bugis di Bengkulu pun berlanjut hingga generasi berikutnya.
Salah satu keturunan Sutan Balinam, Daeng Makulle, juga meninggalkan jejak penting di Bengkulu. Ia menikahi Datuk Nyai, putri dari Pangeran Mangku Raja, dan wafat pada 1753. Hingga kini, makam mereka di Bengkulu dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Keramat Gobah, meski kondisinya tak lagi utuh akibat tangan-tangan jahil.
Di Sumatera Utara, pengaruh Bugis tidak hanya terasa di wilayah pesisir. Sejumlah tarombo Mandailing menyebut keturunan pelaut Bugis yang menetap di pedalaman, berbaur dengan masyarakat setempat. Bahkan, nama-nama marga di Mandailing diyakini memiliki akar kata dari istilah Bugis yang diserap ke dalam bahasa Batak.
Hubungan dagang Bugis dengan bandar-bandar tua seperti Barus, Singkil, dan Sibolga membuat kawasan ini sejak lama menjadi melting pot budaya antara pedagang Aceh, Minangkabau, Arab, India, dan Bugis. Hingga abad ke-19, kapal-kapal Bugis masih rutin bersandar di pelabuhan Barus, membawa beras, rempah, dan hasil bumi Sulawesi untuk ditukar dengan kapur Barus, emas, dan hasil hutan Sumatera.
Jejak pengaruh Bugis di Sumatera juga tercermin dalam kesenian dan tradisi maritim lokal. Sejumlah motif ukiran pada rumah adat pesisir Sumatera menunjukkan kemiripan dengan motif Bugis, seperti bentuk perahu dan simbol ombak. Begitu pula istilah-istilah pelayaran dalam bahasa pesisir Sumatera yang banyak mengambil dari bahasa Bugis.
Kini, meskipun sebagian besar keturunan Bugis di Sumatera telah berbaur dengan masyarakat setempat, jejak-jejak budaya, tradisi, dan kisah leluhur mereka tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat pesisir dan pedalaman Sumatera. Jejak ini menjadi bukti bahwa Sumatera telah lama menjadi rumah bagi berbagai bangsa pelaut, termasuk Bugis.
https://www.facebook.com/share/1CaeZpZipn/
https://www.facebook.com/share/p/16nJtiajMM/
Post a Comment