Israel Duduki Quneitra di Suriah, Ancaman Perang Terus Terbuka
Situasi di perbatasan Suriah dan Israel kembali memanas usai serangan militer Israel di pedesaan Quneitra, Suriah. Pasukan Israel dikabarkan menghancurkan rumah-rumah warga sipil di kota Hamidiyah, sebuah wilayah yang berbatasan langsung dengan Dataran Tinggi Golan. Aksi ini menambah daftar panjang pelanggaran Israel terhadap hukum internasional yang mengatur status zona demiliterisasi pasca Perang 1973.
Pelanggaran ini bukan yang pertama kali dilakukan Israel di kawasan tersebut. Sejak 1974, Quneitra berada dalam ketentuan perjanjian pemisahan pasukan yang ditandatangani oleh Israel dan Suriah. Namun, sejak Desember 2024 lalu, Israel secara sepihak menyatakan perjanjian itu tidak berlaku dan mengambil alih zona penyangga yang sebelumnya berada di bawah pengawasan PBB. Tindakan sepihak ini langsung menuai kecaman luas dari pemerintah Suriah dan sejumlah negara anggota OKI.
Israel berdalih tindakan mereka di wilayah Quneitra bertujuan mencegah peredaran senjata yang sebelumnya dimiliki oleh rezim Bashar al-Assad. Namun di balik dalih tersebut, banyak analis politik kawasan Timur Tengah meyakini bahwa tindakan Israel adalah bagian dari rencana jangka panjang untuk mempertahankan dominasi di Dataran Tinggi Golan dan memperluas pengaruh di wilayah strategis yang kaya sumber daya air tersebut.
Langkah agresif Israel itu juga dianggap sebagai bentuk nyata keberlanjutan proyek lama yang disebut sebagai Greater Israel. Dalam proyek ini, kekuatan Zionis berambisi menguasai wilayah yang membentang dari Sungai Nil hingga Sungai Eufrat, termasuk wilayah-wilayah Suriah, Lebanon, Palestina, dan sebagian Irak. Pendudukan Quneitra dan Dataran Tinggi Golan menjadi bagian strategis untuk mewujudkan rencana tersebut.
Sejak perjanjian pemisahan pasukan ditandatangani pada 1974, status wilayah Quneitra memang sensitif. Perjanjian itu menyebutkan bahwa Israel harus mundur dari kawasan tersebut dan menjaga zona demiliterisasi yang dipantau langsung oleh pasukan PBB. Namun realitanya, Israel terus melakukan pelanggaran sporadis, termasuk melakukan operasi militer secara sepihak di kawasan tersebut.
Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan di wilayah itu meningkat signifikan. Israel diketahui membangun pangkalan militer baru di dekat kota Hamidiyah dan melakukan penggusuran terhadap pemukiman warga sipil Suriah. Selain itu, operasi pencarian senjata yang dilakukan Israel kerap dijadikan alasan untuk mengintervensi wilayah perbatasan Suriah.
Langkah ini jelas bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Piagam PBB yang melarang keras aneksasi wilayah suatu negara secara sepihak. Tidak hanya itu, tindakan Israel juga telah melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 dan 338 yang menuntut Israel mundur dari wilayah-wilayah yang didudukinya dalam Perang 1967, termasuk Quneitra.
Meski pemerintah Suriah yang baru menegaskan tidak ingin memulai eskalasi, namun agresi militer Israel terus memancing ketegangan. Beberapa faksi di Suriah mulai menyerukan perlawanan bersenjata jika Israel terus bertindak sewenang-wenang di kawasan tersebut, khususnya dari eks loyalis Bashar Al Assad dari Syrian Social Nationalist Party yang berpusat di Lebanon yang anti kepada pemerintahan baru Suriah.
Ini membuat situasi di sepanjang perbatasan Suriah dan Israel berada dalam status perang laten yang bisa meletus kapan saja. Dan itu pula yang menjadi preteks menguasai Quneitra
Sejumlah pengamat Timur Tengah menilai bahwa Israel memanfaatkan situasi geopolitik global yang tengah terpecah akibat perang Ukraina dan ketegangan di Laut Cina Selatan. Kondisi tersebut membuat perhatian dunia terhadap kawasan Suriah berkurang, sehingga Israel leluasa melakukan manuver militer di perbatasan.
PBB sendiri hingga kini belum mengeluarkan kecaman keras terhadap tindakan Israel di Quneitra. Meski beberapa negara seperti negara Liga Arab telah mengutuk keras agresi tersebut, namun Dewan Keamanan PBB masih kesulitan mencapai konsensus karena veto yang kerap digunakan sekutu Israel, terutama Amerika Serikat.
Di sisi lain, masyarakat Suriah di kawasan Quneitra dan Dataran Tinggi Golan hidup dalam ketakutan akibat penggusuran dan serangan udara yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Beberapa laporan menyebutkan, banyak keluarga terpaksa mengungsi ke wilayah-wilayah pedalaman demi menghindari konfrontasi bersenjata.
Dalam jangka panjang, keberadaan Israel di Quneitra akan memperpanjang daftar konflik yang tak terselesaikan di Timur Tengah. Sebab, selama wilayah tersebut masih diduduki secara ilegal, perdamaian antara Israel dan Suriah sulit untuk diwujudkan. Bahkan, sejumlah analis militer memperingatkan risiko terjadinya perang terbuka di kawasan tersebut.
Israel sendiri tampak percaya diri dalam mempertahankan pendudukan ini. Mereka memanfaatkan narasi ancaman kelompok bersenjata untuk melegitimasi kehadiran militernya di Quneitra. Padahal, banyak yang menilai alasan tersebut hanya kedok untuk menjaga akses strategis ke Dataran Tinggi Golan yang kaya air dan memiliki nilai militer tinggi.
Selain itu, kontrol atas Quneitra memungkinkan Israel mengawasi langsung pergerakan pasukan pemerintahan Suriah yang baru dan milisi pro-Assad di kawasan tersebut. Dengan demikian, Israel bisa lebih cepat merespons ancaman atau pergerakan militer yang mereka anggap membahayakan eksistensi negara mereka.
Pendudukan Israel atas Quneitra juga berimplikasi buruk terhadap stabilitas kawasan. Beberapa negara Arab menyatakan keprihatinan, meski belum mengambil langkah konkret karena masih sibuk dengan dinamika internal pasca krisis geopolitik regional.
Jika ketegangan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan memicu babak baru perang di kawasan selatan Suriah. Suriah diprediksi tidak akan tinggal diam jika agresi Israel semakin meluas. Sementara itu, kelompok-kelompok perlawanan di Lebanon dan Irak bisa saja ikut terseret dalam konflik ini.
Pada akhirnya, dunia internasional harus mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel di Quneitra. Bila dibiarkan, hal ini tidak hanya mengancam stabilitas kawasan, tapi juga memperkuat proyek kolonialisme tersembunyi yang dikenal sebagai Greater Israel. Ancaman yang bisa menjadi sumber ketegangan abadi di Timur Tengah.
Dibuat oleh AI
Post a Comment