Turkiye Pernah Impikan Nuklir Demi Kesetaraan
Di tengah ketegangan geopolitik yang terus membayangi kawasan Timur Tengah, Turkiye pernah menggemakan sebuah gagasan berani yang sempat menjadi perbincangan internasional. Presiden Recep Tayyip Erdogan, dalam pidatonya di hadapan para kader Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), secara terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aturan dunia yang melarang negaranya memiliki senjata nuklir sementara negara-negara lain memilikinya tanpa batas.
Pernyataan Erdogan tersebut bukan tanpa alasan. Selama bertahun-tahun, Turkiye kerap dipandang sebelah mata oleh kekuatan-kekuatan besar dunia meski memiliki peran strategis yang sangat penting di persimpangan Eropa dan Asia. Negara ini sering diposisikan hanya sebagai sekutu pelengkap dalam aliansi internasional tanpa diberi hak atau posisi yang setara dengan negara besar pemilik nuklir.
Ketika Korea Utara, sebuah negara kecil yang selama ini terisolasi, berhasil mengembangkan senjata nuklir dan bertahan dari tekanan Barat, hal itu menimbulkan pertanyaan besar di Ankara. Mengapa sebuah negara yang kerap dibuli secara internasional bisa berdiri tegak berkat deterensi senjata nuklir, sementara Turkiye yang strategis selalu ditekan agar tunduk pada aturan non-proliferasi.
Erdogan secara gamblang membandingkan situasi Turkiye dengan Israel yang secara de facto memiliki kekuatan nuklir di kawasan namun tetap tak tersentuh. Ia menyebut bahwa keberadaan senjata nuklir telah menjadi pelindung politik yang ampuh bagi negara manapun untuk mempertahankan kedaulatannya, dan menyayangkan standar ganda dalam aturan internasional soal senjata pemusnah massal.
Dalam pernyataannya, Erdogan menegaskan bahwa dirinya tidak bisa menerima kenyataan beberapa negara bebas memiliki puluhan hulu ledak nuklir sementara Turkiye dilarang meskipun hanya ingin memiliki satu untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Pernyataan ini menjadi cermin dari rasa ketidakadilan yang selama ini dirasakan Turkiye di bawah aturan internasional yang berat sebelah.
Turkiye memang telah menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) sejak 1980 dan juga menandatangani Traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT) pada 1996. Namun di balik komitmen itu, terdapat keinginan mendalam untuk mendapatkan hak yang sama dengan negara-negara maju lainnya demi menjaga martabat dan keamanan nasional.
Kondisi geopolitik Timur Tengah yang sarat konflik dan ancaman, terutama dari keberadaan kekuatan nuklir tersembunyi seperti Israel, telah menumbuhkan kesadaran di Ankara tentang pentingnya memiliki sistem pertahanan berlapis, termasuk deterrent nuklir. Bagi Turkiye, senjata nuklir bukanlah alat agresi, melainkan simbol kedaulatan dan perlindungan nasional.
Selama ini, Turkiye seringkali dijadikan pihak yang diminta mematuhi sanksi dan kebijakan nuklir internasional tanpa bisa menentukan posisinya sendiri. Padahal, sebagai negara NATO yang berada di titik paling rawan kawasan, Turkiye justru menjadi negara yang paling berisiko terkena dampak konflik nuklir tanpa memiliki senjata untuk membela diri.
Kisah ini membuktikan bahwa Turkiye tidak sepenuhnya lemah di bawah tekanan internasional. Di balik retorika keras Erdogan, ada optimisme bahwa dunia multipolar harus memberikan hak yang adil bagi setiap negara dalam menentukan sistem pertahanannya tanpa diskriminasi, selama digunakan untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.
Korea Utara telah memberikan contoh bahwa sebuah negara kecil dapat bertahan dari tekanan luar biasa jika memiliki daya gentar setara. Pelajaran ini tentu menjadi catatan penting bagi Turkiye dan banyak negara berkembang lainnya yang selama ini hanya dijadikan objek dalam tatanan politik global, tanpa diberi hak setara menentukan nasibnya.
Di balik semua itu, tekad Turkiye sebenarnya bukan sekadar soal senjata, tetapi tentang harga diri nasional. Tentang keinginan untuk tidak terus-menerus menjadi pihak yang dibatasi sementara negara lain bisa leluasa menentukan jalannya sendiri. Inilah pesan optimistis yang ingin disampaikan Ankara ke dunia internasional.
Perkembangan dunia saat ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada negara-negara besar untuk perlindungan keamanan sudah tidak lagi realistis. Turkiye menyadari, tanpa sistem deterrent mandiri, negara mereka hanya akan terus menjadi pion dalam konflik regional yang tak kunjung reda.
Meski hingga kini Turkiye belum mengambil langkah nyata untuk mengembangkan senjata nuklir, diskusi terbuka yang pernah disampaikan Erdogan itu menunjukkan bahwa diplomasi internasional tak bisa lagi mengabaikan keinginan sah negara-negara non-nuklir untuk mendapatkan jaminan keamanan yang setara.
Langkah-langkah Turkiye memperkuat kemampuan pertahanan nasional lewat industri pertahanan domestik juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang agar tak terus bergantung pada negara-negara yang kerap menetapkan standar ganda dalam isu keamanan global.
Posisi Turkiye sebagai negara NATO sekaligus mitra aktif di kawasan Asia Barat Daya menjadi faktor penting yang seharusnya diakui oleh kekuatan besar dunia. Saat sekutu NATO lainnya seperti Prancis, Inggris, dan AS memiliki kekuatan nuklir, permintaan Turkiye untuk sekadar mendapatkan hak yang adil bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah seruan kesetaraan.
Di masa depan, Turkiye bisa saja menjadi pelopor gagasan baru bahwa keamanan kawasan tidak melulu ditentukan oleh kekuatan nuklir segelintir negara, melainkan oleh keadilan dalam distribusi kekuatan, transparansi, dan hak-hak kedaulatan setiap bangsa untuk menentukan sistem pertahanannya sendiri.
Erdogan telah membuktikan bahwa di balik gaya politik kerasnya, ada semangat optimisme untuk mengembalikan Turkiye sebagai bangsa besar yang disegani di panggung global. Seruan soal nuklir bukan sekadar soal senjata, tapi tentang keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak negara berkembang.
Kisah Turkiye ini seharusnya menjadi refleksi bagi dunia internasional bahwa kesetaraan dalam isu pertahanan harus dibicarakan secara terbuka, tanpa diskriminasi. Karena dunia yang aman bukanlah dunia di mana hanya beberapa negara yang punya hak menentukan, tetapi di mana semua bangsa memiliki posisi yang setara dan bermartabat.
Optimisme Turkiye bisa menjadi inspirasi bagi negara-negara berkembang lainnya yang selama ini selalu ditekan oleh kekuatan besar. Bahwa meskipun sering dibuli dan tak dihormati, sebuah negara tetap punya hak untuk memperjuangkan martabat dan keamanan bangsanya sendiri, dengan caranya yang bermartabat.
Dibuat oleh AI
Post a Comment