Pembunuhan Ilmuwan, Taktik yang Sudah Ada Sejak Perang Dunia
Strategi pembunuhan ilmuwan asing demi mencegah ancaman senjata pemusnah massal bukanlah hal baru dalam dunia intelijen. Praktik ini sudah berlangsung sejak era Perang Dunia II, saat Amerika Serikat merancang misi pembunuhan terhadap fisikawan Jerman Werner Heisenberg. OSS, cikal bakal CIA, mengirim agen Moe Berg ke Zurich untuk membunuh Heisenberg jika terbukti proyek bom atom Nazi sudah hampir rampung.
Moe Berg menyelundupkan pistol ke auditorium tempat Heisenberg berceramah, menunggu sinyal tentang perkembangan bom atom Jerman. Namun tak ada indikasi bahaya nyata, sehingga Berg membatalkan misi. Insiden itu menjadi preseden, bahwa dunia intelijen modern rela membunuh ilmuwan untuk menggagalkan ancaman strategis sebelum terlambat.
Israel adalah negara yang paling rutin menerapkan doktrin ini di Timur Tengah. Pada 1962, Mossad melancarkan Operasi Damocles, membunuh Heinz Krug, kepala perusahaan Jerman yang membantu Mesir mengembangkan rudal. Beberapa ilmuwan lain nyaris menjadi korban, menunjukkan bahwa sejak awal, Mossad memprioritaskan eliminasi figur sentral program senjata negara musuh.
Tradisi itu berlanjut ke Irak, saat ilmuwan nuklir Yahia El-Meshad tewas dipukuli di hotel Paris pada 1980. Pelaku tak pernah diidentifikasi, namun dunia intelijen Barat mengaitkan operasi itu ke Mossad. Insinyur Kanada Gerald Bull, yang membantu proyek artileri jarak jauh Iran dan Irak, juga tewas ditembak di Brussels pada 1990, tanpa jejak perampokan.
Fokus Mossad paling intensif adalah Iran. Sejak 2009, beberapa ilmuwan nuklir Iran dibunuh dengan bom magnetik yang dipasang di mobil mereka, atau ditembak langsung di jalanan Teheran. Di antaranya Massoud Ali Mohammadi, Majid Shahriari, Darioush Rezaeinejad, dan Mostafa Ahmadi Roshan.
Puncaknya terjadi pada 2020, saat Mohsen Fakhrizadeh — kepala program nuklir militer Iran — tewas dalam serangan spektakuler menggunakan senapan otomatis remote control yang dikendalikan via satelit. Teknologi dan metode operasi ini belum pernah digunakan sebelumnya di kawasan itu.
Namun menariknya, meski Iran menjadi sasaran utama, ilmuwan nuklir Pakistan justru relatif aman dari operasi pembunuhan serupa. Salah satu alasannya adalah posisi strategis Pakistan di mata kekuatan Barat pasca-Perang Dingin, di mana nuklir Islamabad diarahkan sebagai penyeimbang India dan bukan ancaman langsung ke Israel atau AS.
Selain itu, komunitas intelijen global menyadari bahwa program nuklir Pakistan sejak awal dibangun atas jaringan kolektif. Tak ada satu figur sentral tunggal seperti Fakhrizadeh di Iran. Ketika tokoh seperti Abdul Qadeer Khan sempat disanksi, penanganannya bersifat politis, bukan operasi senyap. Sumber ancaman terhadap Israel maupun Barat dari Pakistan jauh lebih kecil.
Di sisi lain, India justru mengadopsi strategi unik. Alih-alih menggantungkan penguasaan teknologi nuklir pada sedikit ilmuwan elite, India menyebarkan riset dan pengembangan teknologi nuklir ke banyak universitas dan lembaga riset. Sejak era Nehru, pengembangan nuklir sipil dan militer dilakukan dalam sistem tertutup, tapi berbasis ekosistem akademik yang luas.
Saat ini, hampir setiap universitas teknik utama di India memiliki jurusan fisika nuklir, teknik nuklir, atau riset energi atom. Strategi ini membuat talent pool India jauh lebih besar dan beragam dibanding Iran atau Pakistan. Akibatnya, skema eliminasi figur seperti yang diterapkan Mossad di Iran tak efektif diterapkan di India karena tidak ada figur tunggal yang bisa dilenyapkan untuk mematikan program.
Inilah sebabnya program nuklir India lebih sulit diganggu lewat operasi senyap. Selain karena kedekatan diplomatik dengan Israel dan AS di era modern, faktor banyaknya individu yang terlibat membuat pemetaan target sangat kompleks. Mossad dan CIA menyadari, strategi membunuh satu dua ilmuwan di India tak akan memberi dampak strategis signifikan.
Sementara di Iran, program nuklir sangat tersentralisasi di bawah kementerian pertahanan dan Garda Revolusi. Hanya segelintir nama yang mengendalikan proyek utama. Itulah sebabnya Mossad dengan mudah memetakan target prioritas dan melancarkan operasi eliminasi seperti yang terjadi selama satu dekade terakhir.
Selain faktor teknis, keberhasilan eliminasi ilmuwan di Iran juga didukung kondisi geopolitik kawasan. Iran dikepung sanksi internasional dan embargo teknologi, sehingga ketergantungan pada individu-individu tertentu jadi tinggi. Ketika seorang pakar senior dibunuh, proses penggantiannya berlangsung lama dan penuh risiko.
India, sebaliknya, sejak awal memutuskan jalur riset nuklir yang otonom dan terdistribusi. Program ini tidak bergantung pada dukungan eksternal atau figur sentral tertentu. Meski AS dan Israel tetap memantau perkembangan nuklir India, pendekatan mereka lebih bersifat diplomatik ketimbang operasi senyap.
Dalam catatan sejarah operasi intelijen global, konsep membunuh ilmuwan demi keamanan nasional selalu jadi pilihan ekstrem di kala diplomasi gagal. Dari OSS yang hampir membunuh Heisenberg hingga Mossad yang menarget ilmuwan Iran, praktik ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan bisa menjadi sasaran pertempuran politik dan geopolitik.
Selama Iran tetap menjadikan proyek nuklirnya sebagai proyek militer rahasia yang bergantung pada sedikit individu kunci, maka strategi pembunuhan ilmuwan akan terus jadi opsi Mossad. Sebaliknya, negara-negara dengan ekosistem riset terbuka dan luas seperti India akan tetap relatif aman dari ancaman eliminasi personal.
Keterangan
Talent pool adalah istilah dalam dunia manajemen sumber daya manusia dan pengembangan organisasi yang merujuk pada kumpulan individu berbakat yang memiliki potensi, keahlian, atau kompetensi tertentu untuk diproyeksikan mengisi posisi strategis di masa depan. Talent pool bisa berupa karyawan internal yang sedang dipersiapkan untuk promosi, atau individu eksternal yang dianggap mampu memperkuat organisasi saat dibutuhkan. Dalam konteks negara, talent pool bisa berarti kelompok ilmuwan, insinyur, atau tenaga ahli yang disiapkan untuk mendukung pengembangan teknologi nasional.
Konsep talent pool bertujuan untuk memastikan bahwa organisasi atau negara memiliki cadangan SDM berkualitas yang siap ditempatkan di posisi penting tanpa harus mencari dari nol. Dengan adanya talent pool, proses regenerasi kepemimpinan, pengembangan teknologi, dan penyelesaian masalah strategis bisa berlangsung lebih cepat dan terstruktur. Talent pool biasanya dibangun melalui pelatihan berjenjang, program riset, atau seleksi ketat di institusi pendidikan dan lembaga profesional.
Dalam bidang sains dan teknologi, talent pool sangat penting untuk menjaga kesinambungan inovasi. Negara-negara maju seperti India misalnya, membangun talent pool teknologi nuklir dengan menyebarkan program riset ke berbagai universitas dan lembaga riset, bukan hanya di satu institusi. Strategi ini membuat jumlah pakar yang tersedia jauh lebih banyak dan beragam, sehingga program strategis negara tetap berjalan meskipun ada hambatan politik atau ancaman eksternal.
Selain jumlah, kualitas talent pool juga menjadi faktor penting. Negara atau organisasi perlu memastikan bahwa individu di dalam talent pool memiliki kompetensi sesuai kebutuhan masa depan, bukan sekadar memenuhi jumlah. Proses pengembangan talent pool bisa dilakukan melalui program beasiswa, pelatihan riset, magang di industri strategis, hingga keterlibatan langsung dalam proyek-proyek teknologi nasional.
Dengan adanya talent pool yang kuat dan terdistribusi, suatu negara atau institusi akan lebih tahan terhadap ancaman, baik berupa sabotase, embargo, maupun eliminasi individu-individu penting. Karena ketika satu atau dua figur hilang, masih ada banyak tenaga ahli lain yang bisa meneruskan program tersebut. Inilah sebabnya mengapa negara dengan talent pool besar lebih sulit dipatahkan melalui operasi senyap atau gangguan eksternal.
Dibuat oleh AI
Post a Comment