Korea Utara Belajar dari Nasib Iran dan Libya
Di tengah panasnya situasi Timur Tengah pasca-serangan Israel ke Iran, perhatian dunia kini turut tertuju ke Semenanjung Korea. Bagi Pyongyang, apa yang menimpa Teheran bukan sekadar berita, melainkan pelajaran strategis yang memperkuat alasan utama keberadaan program senjata nuklir mereka selama ini. Korea Utara menyadari betul bahwa nasib Iran, Irak, dan Libya bisa saja terjadi pada mereka bila tidak memiliki senjata pamungkas sebagai penjamin kelangsungan rezim.
Ketika dunia mengecam program nuklir Korea Utara, Pyongyang justru semakin keras kepala mempertahankan program tersebut. Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, disebut melihat serangan Israel terhadap Iran sebagai bukti nyata bahwa hanya nuklir yang bisa mencegah agresi dari kekuatan besar. “Hanya senjata nuklir yang siap digunakan bisa mencegah serangan semacam itu,” tulis analis geopolitik @chadocl.
Pelajaran serupa sebenarnya sudah diperlihatkan sejak kejatuhan Saddam Hussein di Irak dan Muammar Khaddafi di Libya. Dua negara tersebut pernah mencoba berdamai dengan Barat, membuka diri, bahkan menyerahkan program nuklirnya demi janji normalisasi hubungan internasional. Namun sejarah mencatat, hasilnya justru kehancuran total, invasi militer, dan perubahan rezim secara brutal.
Iran yang selama ini dituduh membangun program nuklir militer justru berhenti di tengah jalan demi perjanjian nuklir 2015. Hasilnya, ketika dinamika politik berubah, Iran tetap menjadi target embargo, sabotase, dan kini serangan militer langsung tanpa sanksi berarti bagi Israel. Korea Utara membaca situasi ini sebagai kegagalan diplomasi tanpa jaminan kekuatan militer seimbang.
Strategi Korea Utara sejak lama memang berfokus pada prinsip deterrent mutlak. Negara itu menyadari posisi geografisnya yang berada di perbatasan langsung dengan Tiongkok dan dekat dengan Rusia, dua kekuatan besar yang tidak menghendaki konflik terbuka di kawasan. Nuklir bagi Pyongyang bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga kartu tawar terhadap ancaman invasi dari AS dan sekutunya di Asia Timur.
Korea Utara belajar dari perang Korea 1950-1953 yang memecah Semenanjung menjadi dua negara. Sejak itu, Pyongyang berkomitmen bahwa tanpa kekuatan absolut, negeri mereka bisa dengan mudah dijadikan target seperti Irak, Libya, maupun Iran hari ini. Program nuklir pun menjadi prioritas nasional yang tak bisa ditawar sejak era Kim Il Sung.
Meski berulang kali diberi sanksi ekonomi, isolasi diplomatik, dan tekanan militer, Korea Utara tetap bertahan. Sebaliknya, Irak dan Libya hancur lebur setelah menyerah kepada tekanan Barat. Iran pun kini menghadapi serangan bertubi-tubi setelah program nuklirnya dibatasi. Bagi Kim Jong Un, inilah bukti nyata bahwa perjanjian dengan kekuatan besar tidak akan memberikan jaminan perlindungan.
Keberhasilan Korea Utara mempertahankan eksistensinya di tengah tekanan global tak lepas dari strategi isolasi terkendali dan pengembangan teknologi militer domestik. Mereka menutup sebagian besar keran pengaruh asing, membangun sistem komando tunggal, dan memanfaatkan konflik geopolitik global untuk mempertahankan posisinya. Situasi Ukraina dan ketegangan di Asia Timur dimanfaatkan untuk memperkuat posisi tawar di meja perundingan.
Nuklir bagi Korea Utara bukan hanya senjata, tapi juga instrumen diplomasi. Setiap kali Pyongyang melakukan uji coba nuklir atau peluncuran rudal balistik antar-benua, tujuan utamanya adalah memastikan bahwa tak ada kekuatan asing yang berani melakukan invasi atau menggulingkan rezim seperti yang dialami Saddam dan Khaddafi. Senjata nuklir mereka berfungsi sebagai perisai sekaligus ancaman strategis.
Berbeda dengan Iran yang selama ini berusaha mencari celah dalam sistem diplomasi internasional, Korea Utara memilih jalan konfrontatif dan independen. Iran pernah berharap dari jalur negosiasi nuklir 2015, tetapi ketika pemerintahan AS berganti, kesepakatan itu ditinggalkan begitu saja. Pyongyang memetik pelajaran pahit dari itu.
Sanksi ekonomi memang membuat Korea Utara menderita, namun bagi rezim Kim, hal itu lebih bisa ditoleransi ketimbang risiko kehilangan kekuasaan lewat invasi atau perubahan rezim. Dengan nuklir, Pyongyang tak perlu khawatir menghadapi nasib seperti Baghdad, Tripoli, atau Teheran. Deterrent absolut ini menjadi benteng terakhir yang membuat Barat berpikir dua kali sebelum bertindak.
Kini ketika Israel bebas menyerang Iran, Kim Jong Un melihat itu sebagai pengingat bahwa hanya kekuatan mutlak yang dapat memberikan jaminan keamanan. Pyongyang bahkan diprediksi akan meningkatkan lagi program rudal hipersonik dan peluru kendali jarak jauh untuk memastikan bahwa setiap serangan ke Korea Utara akan dibalas setimpal.
Diplomasi bagi Korea Utara hanyalah alat pengulur waktu. Mereka tidak akan menyerahkan senjata nuklirnya seperti Libya dulu. Bagi Kim, menyerahkan nuklir sama saja bunuh diri politik dan mengundang kehancuran. Situasi geopolitik saat ini justru memperkuat alasan Pyongyang untuk mempertahankan kebijakan nuklir total.
Para pengamat menyebutkan bahwa Korea Utara kini menjadi satu dari sedikit negara di dunia yang terbukti mampu menjaga kedaulatan dan eksistensinya dengan deterrent nuklir, sementara negara-negara lain yang menyerah pada tekanan Barat justru berakhir tragis. Inilah sebab mengapa AS, Jepang, dan Korea Selatan pun tak berani melakukan agresi terbuka.
Dengan senjata nuklir, Korea Utara berhasil menghindari perang terbuka di perbatasan Rusia dan Tiongkok. Negeri itu tetap eksis di antara dua kekuatan besar tanpa harus menjadi pion atau korban konflik geopolitik. Senjata nuklir menjadi jaminan bahwa Pyongyang bisa menentukan nasibnya sendiri.
Pelajaran dari Iran, Irak, dan Libya menjadi referensi utama strategi pertahanan Pyongyang. Bagi Korea Utara, ketahanan rezim dan kedaulatan nasional hanya bisa dijaga jika memiliki deterrent strategis yang tak bisa ditantang. Dan hingga kini, senjata nuklir masih menjadi kartu truf terkuat mereka.
Dibuat oleh AI, baca info selanjutnya
Post a Comment