Strategi MLM Israel Lumpuhkan Satu Per Satu Negara Pengkritik Genosida di Palestina
Dinamika geopolitik di kawasan Timur Tengah dan dunia internasional kembali memperlihatkan wajah kelam diplomasi modern. Israel disebut-sebut tengah menerapkan strategi terstruktur dan sistematis untuk melumpuhkan pihak-pihak yang menentang kebijakan genosida mereka terhadap rakyat Palestina. Metode yang digunakan bahkan menyerupai skema multi-level marketing (MLM) dalam mengisolasi, melemahkan, lalu menghancurkan lawan satu per satu.
Setelah agresi brutal dan genosida ke warga Gaza sejak Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari 50 ribu warga sipil dan jutaan korban luka dan kelaparan, berbagai negara dan organisasi internasional mengecam keras tindakan Israel. Namun alih-alih meredakan agresi, Israel justru bergerak membungkam satu per satu suara-suara kritis yang muncul. Langkah itu dilakukan bukan secara terbuka, melainkan lewat jaringan politik, media, dan lobi ekonomi yang saling bertaut.
Strategi ini dimulai dengan menargetkan negara-negara kecil atau organisasi yang berani secara terbuka menentang agresi Israel. Contoh paling jelas terlihat pada tindakan cepat terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan ke Gaza. Negara-negara seperti Bolivia dan Afrika Selatan yang vokal, langsung mendapat tekanan ekonomi dan diplomatik dari jejaring pendukung Israel.
Selanjutnya, tekanan berlanjut ke organisasi kemanusiaan dan media internasional. Beberapa lembaga non-pemerintah yang mendokumentasikan kejahatan perang di Gaza seperti Doctors Without Borders dan Amnesty International mengalami serangan siber, tuduhan antisemitisme, hingga pencabutan izin operasi di sejumlah negara sekutu Israel. Strategi ini dilakukan melalui skema berantai, di mana satu negara pro-Israel menekan negara lain untuk melakukan hal serupa.
Lobi politik Israel di Washington, London, dan Paris memainkan peran penting dalam pola ini. Mereka memastikan setiap suara yang menentang akan ditandai sebagai ekstremis, anti-Yahudi, atau pendukung terorisme. Gelombang propaganda media yang masif lalu menguatkan narasi tersebut. Media-media arus utama yang bersahabat dengan Tel Aviv diberikan prioritas akses informasi dan framing pemberitaan.
Strategi multi-level ini juga menyasar individu penting di organisasi internasional. Beberapa pejabat PBB yang berani mengecam Israel, seperti kepala UNRWA, sempat difitnah memiliki keterkaitan dengan kelompok perlawanan di Gaza. Tuduhan yang tak terbukti itu cukup untuk menyingkirkan figur-figur kunci dari posisi strategis. Sebuah metode yang mirip dengan model MLM, di mana ‘upline’ menekan ‘downline’ agar mengikuti skema yang sudah disusun.
Negara-negara Arab moderat yang awalnya menunjukkan simpati terhadap Palestina pun tak lepas dari strategi ini. Lewat tekanan ekonomi, ancaman embargo teknologi, hingga perjanjian keamanan, Israel bersama sekutunya perlahan memaksa mereka mundur dari pernyataan keras. Uni Emirat Arab dan Bahrain menjadi contoh nyata, yang sejak normalisasi hubungan justru berbalik menekan kelompok pro-Palestina di dalam negeri.
Dalam dunia kampus dan akademik, strategi serupa diterapkan melalui pemutusan dana riset, pemecatan dosen, hingga pembatalan acara solidaritas Palestina. Di Amerika dan Eropa, mahasiswa pro-Palestina dituduh mendukung kekerasan dan radikalisme, meski sekadar menggelar aksi damai. Tekanan itu muncul dari jaringan donor kampus yang memiliki afiliasi kuat dengan lobi pro-Israel.
Israel juga memanfaatkan jalur ekonomi global dengan menekan perusahaan-perusahaan yang mendukung kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel. Melalui jejaring perdagangan dan perbankan, mereka menyebar ancaman pemutusan kerja sama bisnis bagi korporasi yang berpihak ke Palestina. Beberapa perusahaan di Eropa dilaporkan kehilangan mitra dagang setelah bergabung dalam kampanye tersebut.
Langkah berikutnya ialah menyerang media sosial, platform yang selama ini jadi ruang efektif bagi solidaritas Palestina. Akun-akun populer dan aktivis digital pro-Palestina kerap diblokir, dibatasi jangkauannya, atau dibungkam melalui laporan massal terstruktur. Strategi ini dilakukan melalui kelompok-kelompok relawan digital yang tergabung dalam jaringan pro-Israel lintas negara.
Di dunia hiburan dan olahraga, Israel menggunakan jaringan agensi dan sponsor untuk menekan figur publik agar tidak bersuara tentang Palestina. Selebriti Hollywood yang menyuarakan dukungan ke Gaza banyak yang kehilangan kontrak kerja, diintimidasi secara online, hingga diancam masuk daftar hitam industri. Tekanan ini juga menular ke dunia sepak bola, di mana pemain yang menunjukkan solidaritas ke Palestina dikenai sanksi federasi.
Di jalur hukum, Israel menggandeng negara-negara sekutunya untuk menggagalkan penyelidikan kejahatan perang di Gaza oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Jaksa-jaksa yang memulai proses penyelidikan diancam, dicabut visanya, atau masuk daftar hitam oleh negara-negara Barat. Upaya ini dilakukan secara bertahap, dimulai dari kasus perorangan hingga ke struktur kelembagaan.
Strategi MLM versi geopolitik ini berhasil memecah solidaritas internasional terhadap Palestina. Negara-negara besar seperti Jerman dan Prancis yang awalnya vokal, kini mulai melemahkan kritiknya. Bahkan, beberapa negara ASEAN pun mulai menunjukkan sikap berhati-hati, menghindari konfrontasi langsung dengan Israel dan sekutunya di forum internasional.
Dengan skema berantai ini, Israel memastikan bahwa setiap penentang kebijakan mereka akan mendapat konsekuensi serius, baik di level negara, organisasi, maupun individu. Strategi yang didesain mirip MLM ini memastikan ‘upline’ seperti AS dan Inggris menekan ‘downline’-nya di berbagai kawasan agar mengikuti skenario isolasi terhadap Palestina.
Tekanan itu juga berlaku pada dunia bisnis syariah dan lembaga kemanusiaan di Timur Tengah. Donasi ke Gaza dipersulit, rekening amal dibekukan, dan lembaga bantuan dihadapkan pada persyaratan ketat yang ditentukan oleh lembaga keuangan Barat. Semua itu dilakukan secara berantai, mengikuti pola pengendalian hierarki seperti MLM.
Belakangan adalah serangan langsung ke negara-negara yang kritis seperti Yaman, Iran dan Suriah dan negara lain menunggu giliran.
Yang menarik, strategi ini tidak selalu berbentuk kekerasan langsung, melainkan melalui pengendalian akses informasi, finansial, dan legal. Dalam beberapa kasus, Israel justru menggunakan kedok kemitraan ekonomi dan proyek keamanan regional untuk menjerat negara atau organisasi agar berhenti mendukung perjuangan Palestina.
Strategi ini kini menjadi pola standar baru dalam geopolitik global. Israel membuktikan bahwa isolasi terhadap solidaritas Palestina bisa dilakukan tanpa perlu melibatkan perang langsung, cukup dengan skema tekanan terstruktur berantai. Sebuah metode yang terbukti lebih efektif meredam perlawanan diplomatik.
Dengan kondisi ini, perjuangan rakyat Palestina menghadapi tantangan lebih berat. Selain kekuatan militer di Gaza, mereka kini juga harus berhadapan dengan skema global yang meminggirkan suara mereka secara sistematis. Tantangan ini hanya bisa dihadapi dengan membangun solidaritas akar rumput yang tak mudah dipengaruhi skema tekanan berantai tersebut.
Dibuat oleh AI, lihat info selanjutnya
Post a Comment