Header Ads

‎Hubungan Barus-Siam dan Batak-Angkola dengan Thailand di Abad 16-17‎

‎Hubungan antara Barus, salah satu pelabuhan tertua di pantai barat Sumatra, dengan Kerajaan Siam (sekarang Thailand) menyimpan kisah menarik yang jarang diangkat dalam sejarah arus utama Nusantara. Barus, yang dikenal dalam naskah-naskah Arab sebagai Fansur, ternyata pernah menjalin hubungan politik dan militer dengan kerajaan di daratan Asia Tenggara tersebut. Hubungan ini berlangsung cukup intens antara abad ke-16 hingga akhir abad ke-17.
‎Catatan mengenai hubungan Barus dan Siam di masa lampau salah satunya disampaikan oleh peneliti sejarah Nusantara, Ridwan Selian. Dalam sebuah naskah berjudul Sejarah Kerajaan Atchin (Aceh di Barus) dengan Kerajaan Siam (1500-1688), terungkap bagaimana Barus, Aceh di Barus, serta masyarakat Batak di pedalaman Tapanuli memiliki keterkaitan langsung dengan politik kerajaan di Siam.
‎Salah satu peristiwa penting terjadi ketika Raja Siam terlibat konflik bersenjata dengan kerajaan Tiongkok. Dalam situasi genting itu, Raja Fansur dari Barus dikabarkan mengirim bantuan militer kepada Raja Siam. Keterangan ini menunjukkan bagaimana Barus, yang saat itu memiliki kekuatan maritim dan jalur diplomasi luas, mampu membangun jaringan hubungan luar negeri hingga ke kawasan daratan Asia Tenggara.
‎Pada tahun 1539, sebuah peristiwa lain tercatat ketika pasukan Raja Siam, yang saat itu disebut Sultan Alaudin al Khar, menguasai wilayah hulu Sungai Singkil. Peristiwa ini diduga sebagai bagian dari ekspansi kekuasaan sekaligus untuk mengamankan jalur rempah yang saat itu menjadi komoditas utama di kawasan Barat Nusantara.
‎Tak hanya soal perang dan politik, kisah hubungan personal juga tercatat dalam sejarah. Seorang tokoh leluhur Batak bernama Guru Teteanbulan, yang merupakan tokoh dari kelompok marga Loentoeng dan Borbor, dikisahkan menikah dengan seorang putri dari keluarga bangsawan Siam. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa hubungan antar bangsa di masa lampau bukan hanya melalui diplomasi, tetapi juga lewat ikatan kekeluargaan.
‎Sekitar tahun 1580-an, hubungan persahabatan antara Raja Uti (bagian dari trah Inderapura, Sumbar) di Barus dan kerajaan Siam kembali tercatat. Kerja sama ini memperkuat posisi Barus sebagai pelabuhan strategis di pesisir barat Sumatra, sekaligus pintu masuk rempah-rempah Nusantara menuju pasar internasional via Malaka dan daratan Asia Tenggara.
‎Kisah hubungan erat ini berlanjut hingga akhir abad ke-17. Pada tahun 1688, kerajaan Siam tercatat membantu Kerajaan Atchin (Aceh di Barus) yang saat itu sedang berkonflik dengan kekuatan luar dan internal. Sayangnya, bantuan tersebut tidak mampu membendung kekalahan Atchin. Sultan Aceh yang memerintah di Barus gugur dalam pertempuran, dan keluarga kerajaan pun terpaksa meninggalkan Barus.
‎Peristiwa itu mengurangi dominasi Aceh di wilayah Barus dan secara tidak langsung meredupkan hubungan resmi dengan kerajaan Siam. Meski demikian, jejak-jejak hubungan kedua wilayah tersebut masih dapat ditelusuri melalui berbagai tradisi lisan dan silsilah keluarga Batak yang menyebut adanya nenek moyang berdarah Siam.
‎Beberapa penulis sejarah marga di Tapanuli, menuliskan kemungkinan  leluhur mereka yang berasal dari Siam. Cerita ini diwariskan secara turun-temurun melalui turi-turian, sebuah bentuk penuturan sejarah lisan khas Batak. Di Thailand juga terdapat masyarakat bernama Batek yang dimasukkan menjadi bagian dari Suku Sakai lokal. Baik Sumatera Utara maupun Thailand juga mendapat pengaruh sebelumnya dari ekspansi Rajendra Chola dari India. Pengaruhnya di Sumut didapati pada Suku Angkola dan di Thailand disebut Chula.
‎Dalam kajian-kajian filologi dan arkeologi, nama-nama tempat di sekitar Barus seperti Fansur juga ditemukan dalam catatan kuno kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, termasuk Siam. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas perdagangan dan diplomasi antara pelabuhan di Sumatra Barat itu dengan pusat-pusat kekuasaan di Asia Tenggara daratan. Banyak ulama Thailand, khususnya dari Pattani belajar agama Islam di Barus.
‎Barus, yang sejak abad ke-7 dikenal sebagai eksportir kapur barus utama dunia, memang kerap menjadi simpul penting dalam jalur rempah internasional. Keberadaan Barus dalam percaturan geopolitik Asia Tenggara menjadi sangat strategis, mengingat posisinya sebagai penghubung antara Samudera Hindia dan jalur-jalur pedalaman Sumatra.
‎Siam sendiri, sebagai kerajaan besar di daratan Asia Tenggara, tentu memiliki kepentingan atas jalur rempah ini. Maka tidak mengherankan jika kedua belah pihak berusaha menjalin hubungan politik dan militer, bahkan melalui perkawinan bangsawan, demi memperkuat posisi masing-masing di tengah persaingan dagang dan perebutan wilayah.
‎Selain itu, terdapat dugaan bahwa beberapa keturunan campuran Batak-Siam yang lahir dari pernikahan politik ini kemudian berperan dalam membangun jalur komunikasi dan perdagangan rahasia antara Barus dan Siam, meskipun catatan resminya sangat terbatas. Jejak-jejak itu masih samar, tetapi bisa ditelusuri melalui motif ukiran, pakaian adat, dan nama-nama marga tertentu di kawasan Tapanuli.
‎Di masa kini, hubungan sejarah antara Barus dan Thailand (sebagai penerus Siam) menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dengan makin berkembangnya studi lintas budaya dan sejarah maritim Asia Tenggara, hubungan lama ini berpotensi membuka babak baru dalam memahami peta interaksi antarbangsa di kawasan tersebut.
‎Pemerintah daerah Sumatra Utara, khususnya di wilayah Barus dan Tapanuli, bahkan bisa menjadikan hubungan sejarah ini sebagai dasar penguatan diplomasi budaya dengan Thailand. Festival budaya, kajian sejarah bersama, hingga promosi wisata sejarah bisa menjadi jembatan baru antar masyarakat di dua wilayah yang pernah terhubung erat di masa lampau.
‎Melihat besarnya potensi sejarah ini, peneliti-peneliti muda diharapkan dapat mengkaji ulang naskah-naskah kuno, tradisi lisan, serta arkeologi kawasan Barus untuk menggali kembali jejak hubungan Barus dan Siam. Terlebih lagi, kisah ini bukan hanya bagian dari sejarah lokal, tetapi juga merupakan mozaik penting dalam sejarah maritim Asia Tenggara.
‎Dengan demikian, hubungan antara Barus dan Siam di abad ke-16 hingga ke-17 tidak hanya soal perang dan politik. Ia adalah gambaran nyata tentang bagaimana masyarakat Nusantara kala itu telah memiliki jaringan hubungan internasional yang luas, bahkan jauh sebelum kedatangan kolonial Eropa. Sebuah warisan sejarah yang layak diangkat kembali ke permukaan.
‎Sumber: 
‎https://www.facebook.com/share/p/15v7ub8yc9/
‎Batak berasal dari Thailand?
‎1. 
‎https://www.google.com/amp/s/www.timenews.co.id/daerah/amp/99513682136/asal-usul-suku-batak-dari-thailand-india-atau-israel-kuno%3fpage=2
‎2. https://www.suararadarcakrabuana.com/menelusuri-jejak-kuno-asal-usul-suku-batak/
‎Ulama Pattani Belajar di Barus
‎https://www.facebook.com/share/1J2kxCgjNx/
‎Tonun Pattani di Mandailing-Angkola 
‎https://www.facebook.com/photo.php?fbid=3135760286497149&id=1598054340267759&set=a.1599428673463659&locale=th_TH
Powered by Blogger.