Makam Malem Dagang, Jejak Tua Gelar Malim/Parmalim Islam di Aceh
Di balik lembaran sejarah Aceh yang dipenuhi kisah heroik dan kejayaan Islam, terdapat nama Malem Dagang, seorang panglima besar yang jejaknya mulai kembali diperbincangkan. Tokoh asal Meureudu ini tidak hanya dikenang karena perannya dalam ekspedisi militer Sulthan Iskandar Muda, tetapi juga karena gelar yang disandangnya: “Malem”. Gelar ini kini diduga memiliki keterkaitan erat dengan istilah "Malim" di kalangan masyarakat Batak, khususnya Parmalim.
Malem Dagang disebut-sebut dalam kitab Hikayat Malem Dagang karya Teungku Chik Pante Geulima sebagai pria yang cerdik, tegas, serta alim. Kealiman itulah yang membuat permaisuri Sulthan Iskandar Muda, Putroe Phang, mengusulkan agar dirinya diangkat sebagai panglima besar dalam penyerangan ke Semenanjung Malaka. Dalam riwayat itu, syarat pengangkatan Malem Dagang adalah disertainya Teungku Japakeh sebagai penasehat perang.
Kisah ini diabadikan pula dalam buku Singa Aceh, Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda karya H M Zainuddin, yang terbit di Medan pada 1957. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Malem Dagang merupakan figur yang memiliki banyak kaum dan pengikut, mencerminkan betapa kuatnya pengaruh agama dan adat di Meureudu kala itu.
Gelar "Malem" yang melekat padanya menjadi petunjuk berharga bagi peneliti sejarah Islam Nusantara. Di berbagai tradisi Melayu dan Batak Toba, istilah serupa yakni “Malim” dikenal sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang alim, guru spiritual, atau tokoh agama. Di kalangan Batak, komunitas Parmalim masih mempertahankan istilah ini hingga kini.
Penemuan makam Malem Dagang yang diyakini berada di wilayah Aceh Pidie menjadi bukti fisik atas keberadaan tokoh ini. Nisan tua bercorak Islam klasik dengan ukiran kaligrafi Arab kuno dan gelar “Malem” terpahat jelas di sana. Keberadaan makam tersebut menjadi salah satu makam Islam tertua di Aceh yang menggunakan gelar tersebut.
Hal ini sekaligus memperkuat teori bahwa gelar “Malim” awalnya merupakan sebutan bagi tokoh Islam di Nusantara, sebelum kemudian mengalami transformasi makna di berbagai komunitas lokal. Di kalangan Batak Parmalim, misalnya, istilah ini tetap dijaga meski kini diposisikan sebagai pemimpin spiritual di luar arus Islam ortodoks.
Sejumlah sejarawan lokal Aceh menyebut bahwa pengangkatan Malem Dagang oleh Sulthan Iskandar Muda bukan hanya karena kecerdikannya dalam perang, tetapi juga karena pengaruh spiritualnya yang kuat di kalangan masyarakat pesisir dan pedalaman. Ia dianggap sebagai sosok yang mampu memimpin sekaligus menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama di bawah panji Kesultanan Aceh.
Tradisi lisan yang berkembang di Meureudu menyebut Malem Dagang sebagai keturunan ulama pendatang dari Gujarat yang menetap di pesisir Aceh. Ia diyakini membawa serta ajaran tarekat dan pendidikan Islam yang kuat, sehingga dijuluki “Malem” — sebuah gelar untuk orang alim dalam masyarakat Melayu kala itu.
Menariknya, menurut beberapa peneliti, penggunaan gelar “Malem” atau “Malim” menyebar hingga ke pedalaman Sumatra, termasuk ke wilayah Tapanuli. Istilah ini lalu diadopsi oleh masyarakat Batak sebagai gelar kehormatan spiritual. Kaitan ini membuka hipotesis bahwa Parmalim pada awalnya adalah komunitas Batak yang Islam yang kemudian mempertahankan tradisi spiritual mereka setelah terjadinya penjajahan Belanda di wilayah itu.
Diperkirakan, keberadaan makam Malem Dagang menjadi salah satu bukti kuat tentang penyebaran awal Islam di pedalaman Sumatra. Makam ini bukan sekadar pusara, tapi bukti lintasan budaya dan agama yang membentuk identitas berbagai komunitas di Sumatra.
Konon, pasca penyerangan ke Semenanjung Malaka yang diduduki penjajah Portugis, Malem Dagang lebih memilih menetap di pedalaman Aceh dan menyebarkan ajaran agama. Ia mendirikan sejumlah tempat pengajian dan menjadi guru bagi banyak tokoh yang kelak memainkan peran penting dalam sejarah lokal Aceh dan sekitarnya.
Riwayat hidup Malem Dagang yang tersebar dalam hikayat-hikayat Aceh tua tak hanya menjadi legenda lokal, melainkan juga potongan penting sejarah Islam di Nusantara. Dari jejaknya, bisa ditelusuri peran Meureudu sebagai pusat awal dakwah Islam yang berpengaruh hingga ke Tapanuli.
Kini, beberapa budayawan Aceh dan Sumatra Utara mulai mendorong upaya penelitian bersama untuk menelusuri jejak hubungan Meureudu dan Parmalim Batak. Mereka berharap penemuan makam ini dapat membuka babak baru dalam pemahaman sejarah lintas budaya di Sumatra.
Salah satu tokoh masyarakat Parmalim di Tapanuli menyambut baik wacana ini. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa kisah tentang leluhur Batak yang memiliki hubungan dengan orang-orang alim dari Aceh sudah lama menjadi cerita turun-temurun di kalangan mereka.
Dengan adanya penelusuran ini, diyakini akan muncul kesadaran baru tentang akar budaya dan agama yang saling bertaut di Sumatra. Bahwa nilai-nilai spiritual tak pernah benar-benar hilang, melainkan bertransformasi seiring perubahan sosial dan politik yang melanda kawasan ini.
Kisah Malem Dagang pun kembali hidup, tak hanya sebagai panglima perang di masa Iskandar Muda, tetapi sebagai jembatan sejarah yang menghubungkan Aceh dan Tapanuli melalui gelar “Malim” yang diwariskan hingga kini. Sebuah warisan yang layak digali lebih dalam demi merangkai ulang peta spiritual Nusantara.
Post a Comment