Header Ads

‎Nias, Pusat Niaga Pantai Barat Sumatera dan Hubungannya dengan Mandailing Angkola‎

‎Pulau Nias, yang kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata eksotis di barat Sumatera, ternyata memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan penting di pantai barat Sumatera. Sejak masa kejayaan Samudera Pasai hingga era Kesultanan Aceh, Nias menjadi titik strategis lalu lintas dagang dan pelayaran antarpulau bahkan antarbangsa di Selat Malaka.
‎Kedudukan Nias begitu strategis karena letaknya yang berada di jalur pelayaran utama dari India dan Timur Tengah menuju Selat Malaka. Sejumlah pelabuhan di pesisirnya menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang, baik dari Pasai, Aceh, Barus, Bugis, Banjar, Jawa, Melayu, Pariaman, Mandailing Angkola, Rao (Raja Balugu Si Rao dll) hingga Pagaruyung. Barus yang terkenal dengan hasil kapur barusnya juga pernah memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Nias.
‎Relasi antara Nias dan Pagaruyung bahkan terjalin cukup erat, ditandai dengan peristiwa migrasi suku-suku dari Minangkabau ke Nias. Salah satu yang terkenal adalah kedatangan Datuk Raja Ahmad, bangsawan Minang dari Pariangan Padang Panjang yang membawa suku Chaniago. Ia datang ke Nias sekitar tahun 1690 M, ketika pantai barat Sumatera rawan bajak laut dan Kesultanan Aceh mulai melemah.
‎Dalam pelayarannya, Datuk Raja Ahmad yang disertai para penghulunya, semula hanya bermaksud berdagang dan mencari kerabatnya di Aceh. Namun, badai memaksa kapalnya singgah di Teluk Belukar, Pulau Nias. Kesempatan ini dimanfaatkan raja-raja Nias yang meminta bantuan dirinya untuk menjaga keamanan wilayah pesisir dari serangan bajak laut.
‎Kesepakatan pun tercapai, di mana wilayah pesisir diamanahkan kepada Datuk Raja Ahmad, sementara raja-raja Nias menguasai daerah pegunungan. Aliansi ini disahkan dalam sumpah adat dan dihadiri oleh para kepala suku setempat, termasuk Raja Awuwuoha dari Telaumbanua. Mereka sepakat untuk tolong-menolong menjaga keamanan bersama, di darat maupun di laut.
‎Peristiwa ini menandai lahirnya komunitas Ndrawa Sowanua, yaitu kelompok pendatang Minang dan Aceh yang menetap dan diterima sebagai penduduk Nias. Datuk Raja Ahmad menikahi Siti Zohora, putri bangsawan Aceh, yang mempererat hubungan antarbangsa di kawasan tersebut. Dari pernikahan ini lahir generasi baru yang turut membangun kampung-kampung di pesisir.
‎Di wilayah tempat tinggal Datuk Raja Ahmad, dibangun sebuah koto atau benteng kecil yang dipersenjatai beberapa pucuk meriam. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai Arö Koto, sebutan yang diambil dari kampung asal Datuk Raja Ahmad di Pariangan. Hingga kini, meriam-meriam kuno itu masih bisa disaksikan di persimpangan jalan Diponegoro, Ilir Gunungsitoli.
‎Fondrakö atau musyawarah adat diselenggarakan untuk mengesahkan keberadaan dan hak-hak keturunan Datuk Raja Ahmad di Nias. Fondrakö pertama digelar di kaki Bukit Lasara dan menegaskan status Ndrawa sebagai penduduk tetap yang memiliki kampung dan tanah adat. Keputusan ini menjadikan mereka bagian integral dari masyarakat Nias.
‎Tak hanya itu, relasi dagang antara Nias dan Pagaruyung pun diperkuat lewat jalur pelayaran rutin. Pedagang-pedagang dari Angkola kerap berdatangan ke Nias membawa hasil bumi dan kerajinan. Menariknya, sebagian marga Angkola memiliki padanan dengan marga Nias, seperti Siregar dengan Zega, menunjukkan adanya asimilasi sosial budaya di antara dua komunitas ini.
‎Keberadaan batu nisan Aceh di Pulau Nias menjadi penanda lain hubungan historis kawasan ini dengan pusat-pusat Islam di Sumatera. Batu nisan bergaya Aceh biasanya ditemukan di dataran rendah pesisir, namun di Nias nisan tersebut ditemukan di kampung kuno di atas bukit. Hal ini menunjukkan tradisi pertahanan masyarakat Nias yang membangun desa di ketinggian.
‎Secara arkeologis, keberadaan batu Aceh di atas perbukitan Nias sangat mencengangkan. Sebab biasanya artefak ini berada di dekat sungai atau pantai, namun di sini menjadi bagian dari struktur megalitik yang telah lebih dahulu eksis. Fenomena ini memperlihatkan akulturasi budaya Islam dengan tradisi megalitik Nias yang masih kuat kala itu.
‎Dalam lintasan sejarahnya, Barus sebagai pelabuhan niaga penting juga pernah memiliki pengaruh di Nias. Selain lewat perdagangan, pengaruh Barus terlihat dari adanya pola pemukiman dan struktur sosial di Nias yang menyerupai sistem di Barus. Bahkan, beberapa keluarga di Nias diyakini merupakan keturunan pedagang Barus termasuk dari marga Tanjung dan Al Mahdaly (Arab). Nias sudah dikenal dunia Arab sebelum abad ke-10 M.
‎Ketika Kesultanan Aceh berjaya, Pulau Nias menjadi salah satu daerah subur yang memasok hasil hutan, perkebunan (seperti kelapa dll), dan sumber daya manusia untuk tujuan militer. Namun, kendati di bawah pengaruh Aceh, Nias tetap mempertahankan otonomi adat dan sistem kampung berbentengnya. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa batu nisan Aceh pun menyesuaikan posisi di kampung-kampung atas bukit.
‎Pasca keruntuhan Samudera Pasai, pusat perdagangan dan pelayaran di pantai barat Sumatera sempat berpindah ke Aceh. Namun, Nias tetap menjadi titik persinggahan penting bagi kapal-kapal dagang yang hendak menuju Selat Malaka atau pesisir barat Sumatera. Keberadaan pelabuhan-pelabuhan kecil di Nias tetap vital bagi jalur perdagangan saat itu.
‎Ketegangan di laut akibat merajalelanya bajak laut juga membuat kedudukan Nias semakin strategis. Pedagang-pedagang dari Pagaruyung, Angkola, dan pesisir Sumatera Barat kerap memilih singgah di Nias sebelum melanjutkan pelayaran. Hubungan dagang ini kemudian berkembang menjadi hubungan kekeluargaan dan kekerabatan.
‎Seiring waktu, banyak kampung-kampung di pesisir Nias dihuni keturunan pedagang Aceh dan Minang. Hingga kini, jejak keturunan tersebut masih bisa ditelusuri dari nama-nama kampung dan situs-situs peninggalan sejarah seperti meriam kuno, batu nisan Aceh, dan sisa benteng-benteng pertahanan. Warisan sejarah ini menjadi bukti eratnya hubungan dagang dan budaya di kawasan itu.
‎Pulau Nias tak hanya dikenal karena budaya lompat batunya, tetapi juga karena peran strategisnya dalam jalur perdagangan internasional sejak abad pertengahan. Jejak-jejak tersebut menjadi bukti bahwa kawasan ini pernah menjadi simpul penting yang menghubungkan berbagai peradaban di pesisir barat Sumatera.
‎Hingga kini, Pulau Nias tetap menyimpan kekayaan sejarah yang belum sepenuhnya diungkap. Kisah Datuk Raja Ahmad dan komunitas Ndrawa Sowanua adalah salah satu potongan penting dari mosaik sejarah perdagangan dan migrasi di Sumatera yang layak terus diteliti dan dilestarikan.

Powered by Blogger.