Header Ads

Kasus Unik: Saat Berita Dibeli Demi Ganggu Penyidikan


Jakarta kembali diguncang kabar mengejutkan dari dunia media dan hukum. Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar atau TB, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan perkara timah dan impor gula. Perannya tidak main-main—ia disebut menjadi aktor penting dalam menyusun narasi untuk melemahkan institusi kejaksaan.

Penetapan status tersangka terhadap TB dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Dalam pernyataannya, Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menegaskan bahwa TB tidak hanya mengetahui, tetapi turut aktif menyusun dan menyebarkan berita yang bertujuan menyudutkan jaksa. Aktivitas ini, menurut Kejagung, dijalankan atas permintaan dua advokat: Marcela Santoso dan Junaedi Saibih.

Kasus ini menjadi menarik karena melibatkan kombinasi antara media, uang, dan kekuasaan hukum. TB, yang seharusnya menjadi ujung tombak penyampaian informasi kepada publik secara objektif, justru terjebak dalam permainan narasi berbayar senilai ratusan juta rupiah. Ia menerima lebih dari Rp 400 juta dari dua tersangka lain untuk menyebarkan konten negatif.

Uang sebesar itu diberikan bukan melalui jalur institusional. Menurut Kejagung, tidak ada kontrak resmi antara Jak TV dengan pihak yang memesan konten. Dana diberikan langsung kepada TB, tanpa sepengetahuan redaksi. Ini memperkuat dugaan bahwa TB menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan di luar kebijakan perusahaan.

Saat digiring ke mobil tahanan, TB hanya menjawab singkat pertanyaan wartawan. Ia membantah menitipkan berita ke media mana pun dan menyatakan, "Nggak ada, kita sama-sama satu profesi." Jawaban ini dinilai menggambarkan solidaritas yang bias di antara pelaku media, alih-alih menjadi klarifikasi yang menyeluruh.

Marcela Santoso dan Junaedi Saibih, dua advokat yang disebut sebagai pemesan berita, memilih bungkam. Saat keluar dari gedung Kejaksaan, mereka menunduk, tak memberi satu pun pernyataan. Tangan diborgol, masker menutup wajah mereka. Pemandangan ini seakan menyiratkan bobot berat dari kasus yang tengah mereka hadapi.

Konten-konten berbayar tersebut, menurut Kejaksaan, dimuat tidak hanya di layar kaca Jak TV, tetapi juga tersebar di media sosial dan portal daring. Tujuannya adalah membentuk opini publik agar menilai buruk proses penyidikan, penuntutan, bahkan jalannya persidangan perkara korupsi timah dan gula.

Modus semacam ini belum pernah secara terang-terangan terungkap sebelumnya. Biasanya, permainan narasi cenderung samar dan susah dibuktikan. Namun dalam kasus ini, nominal pembayaran, komunikasi, dan distribusi kontennya terlacak dengan jelas. Kejaksaan menyebutnya sebagai contoh nyata bagaimana media bisa digunakan sebagai alat perintangan hukum.

Penggunaan media sebagai alat untuk mempengaruhi jalannya hukum bukanlah hal baru, namun jarang terjadi sekompleks ini. TB tak hanya membuat narasi, tetapi juga membungkusnya dengan format jurnalistik, sehingga publik sulit membedakan antara fakta dan pesanan.

Kasus ini bisa menjadi titik balik bagi evaluasi dunia pers nasional. Dalam era digital, berita tak lagi hanya bicara kebenaran, melainkan juga siapa yang membayar narasi tersebut. Dan ketika jurnalis sudah bisa "diorder", maka transparansi dan integritas informasi publik pun berada di ujung tanduk.

Menariknya, Jak TV sejauh ini belum memberikan keterangan resmi. Jika benar TB bertindak tanpa sepengetahuan perusahaan, maka muncul pertanyaan: seberapa besar pengawasan internal dalam dunia penyiaran kita? Apakah mungkin seorang direktur berita bekerja sendiri tanpa diketahui atasannya?

Kasus ini juga memantik diskusi tentang hubungan antara pengacara dan media. Jika pengacara dapat membeli pemberitaan untuk mempengaruhi jalannya proses hukum, maka transparansi persidangan bisa dikooptasi kekuatan uang. Apalagi bila motifnya adalah membela tersangka kasus korupsi besar yang merugikan negara.

Publik pun perlu diajak kembali memahami pentingnya integritas jurnalistik. Bahwa profesi ini bukan sekadar soal rating dan eksposur, tetapi tentang menjaga akal sehat masyarakat dalam menilai sebuah peristiwa. Sekali kepercayaan publik runtuh, maka butuh waktu lama untuk memperbaikinya.

Selain itu, muncul pertanyaan mengenai kemungkinan adanya keterlibatan oknum lain. Apakah TB satu-satunya pintu masuk narasi pesanan ini? Bagaimana pengawasan terhadap konten redaksional bisa begitu longgar sehingga berita-berita tendensius lolos tanpa verifikasi menyeluruh?

Langkah cepat Kejaksaan Agung mengungkap kasus ini patut diapresiasi. Transparansi penanganannya menjadi contoh bahwa lembaga penegak hukum tak boleh gentar, sekalipun yang dihadapi adalah kekuatan media yang punya pengaruh besar dalam membentuk opini.

Kini, proses hukum terhadap TB, MS, dan JS akan menjadi ujian integritas sistem peradilan kita. Bila kasus ini ditangani secara tuntas dan adil, maka bisa menjadi preseden penting dalam menata ulang hubungan antara pers, hukum, dan kekuasaan.

Yang jelas, publik berharap agar praktik serupa tidak lagi terulang. Media harus kembali menjadi ruang yang bebas dari tekanan kekuasaan dan uang. Karena saat berita dibeli, maka yang dijual bukan hanya narasi—melainkan masa depan demokrasi itu sendiri.

Powered by Blogger.