Ketika Belanda Mengaburkan Penjajahan Lewat Karangan Cerita
Dalam tulisan Risfan Sihaloho, terungkap bagaimana narasi sejarah Perang Padri dan julukan "Paderi" yang melekat padanya menyimpan lapisan-lapisan kepentingan kolonial Belanda. Istilah "Paderi," yang asing bagi pemahaman awam di Indonesia dan bahkan memiliki makna teknis terbatas dalam konteks Katolik, diduga kuat merupakan alat stigmatisasi yang sengaja diciptakan oleh pihak kolonial. Sebuah ironi mencolok, di mana gerakan Islam yang dituduh melakukan teror justru diidentifikasi dengan sebutan yang terhormat dalam tradisi Katolik.
Dugaan ini semakin menguat dengan munculnya buku kontroversial karya Alfred Siregar, "Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao." Sejumlah ahli meragukan validitas buku ini sebagai sumber sejarah yang kredibel, bahkan menyarankan evaluasi psikologis terhadap penulisnya. Namun, buku yang dianggap problematik ini justru memicu respons dari Hamka, yang kemudian menulis bantahan komprehensif dalam karyanya, "Tuanku Rao Antara Fakta dan Hayal." Lebih mengejutkan, Alfred Siregar pada akhirnya mengakui adanya kebohongan dalam bukunya, yang sebagian ia sebut sebagai "latihan intelektual" bagi pembaca.
Latar belakang ayah Alfred Siregar sebagai misionaris yang bekerja untuk organisasi misi Protestan Jerman (RMG) juga memberikan konteks menarik.
Sementara itu, Hamka sendiri merasa ganjil dengan pemahaman keagamaan Alfred Siregar. Di sisi lain, kiprah Nommensen, tokoh penting dalam penyebaran agama Kristen di Tapanuli yang membawa serta pasukan Belanda untuk menaklukkan wilayah tersebut dengan dalih memberantas "teror agama" yang ia sebut "Paderi," seolah luput dari sorotan yang sama.
Karya Uli Kozok yang menerjemahkan korespondensi Nommensen dengan RMG dan penguasa kolonial Belanda semakin memperjelas keterlibatan pihak misionaris dalam agenda kolonial di Tapanuli. Hal ini menunjukkan bagaimana narasi sejarah dapat dipengaruhi dan bahkan dibentuk oleh kepentingan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini kolonial Belanda, untuk mengaburkan praktik penjajahan yang sebenarnya.
Penggunaan istilah "Paderi" sebagai label peyoratif terhadap gerakan Islam pimpinan Tuanku Imam Bonjol menjadi salah satu contoh bagaimana Belanda, melalui narasi yang mereka bangun atau setidaknya biarkan berkembang, berusaha mendistorsi realitas sejarah. Dengan mengasosiasikan gerakan tersebut dengan istilah yang diambil dari tradisi agama lain dan memiliki konotasi negatif,
Belanda berupaya mendelegitimasi perjuangan masyarakat Minangkabau dan menjustifikasi tindakan represif mereka.
Karangan-karangan cerita, baik dalam bentuk buku maupun propaganda lisan, menjadi alat yang ampuh bagi kolonial untuk membentuk opini publik dan menanamkan pemahaman yang menguntungkan bagi kekuasaan mereka.
Mereka menciptakan narasi tentang "teror agama" untuk menutupi motif ekonomi dan politik di balik ekspansi mereka. Julukan "Paderi" adalah bagian dari strategi ini, sebuah upaya untuk mengalihkan perhatian dari kezaliman penjajahan dengan menciptakan musuh imajiner yang menakutkan.
Polemik seputar buku Alfred Siregar dan respons Hamka menjadi bukti adanya perlawanan terhadap upaya distorsi sejarah ini. Namun, jejak-jejak narasi kolonial masih mungkin tertinggal dalam pemahaman sebagian masyarakat tentang Perang Padri. Oleh karena itu, penting untuk terus mengkaji sejarah secara kritis, menelusuri berbagai sumber, dan mempertanyakan setiap narasi yang ada, terutama yang berpotensi menyembunyikan kebenaran tentang praktik penjajahan dan perjuangan melawan penindasan.
Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa sejarah bukanlah sekadar catatan fakta, tetapi juga interpretasi dan narasi yang dibangun oleh berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda. Upaya Belanda mengaburkan penjajahan melalui karangan-karangan cerita adalah pengingat bahwa kewaspadaan terhadap distorsi sejarah adalah tanggung jawab setiap generasi.
Dengan memahami bagaimana narasi kekuasaan bekerja, masyarakat dapat lebih menghargai perjuangan para pahlawan dan menghindari terulangnya praktik manipulasi sejarah di masa depan.
Kasus "Paderi" dan polemik seputar buku Alfred Siregar adalah jendela untuk melihat bagaimana penjajah berupaya mencuci tangan dari kejahatan mereka dengan menciptakan narasi palsu. Dengan terus menggali dan menganalisis sejarah secara kritis, bangsa Indonesia dapat membangun pemahaman yang lebih utuh dan jujur tentang masa lalunya, serta menghargai warisan perjuangan para pendahulu. Karangan-karangan cerita yang bertujuan mengaburkan kebenaran harus dilawan dengan kajian sejarah yang mendalam dan penyebaran informasi yang akurat.
Post a Comment