Misteri Raja Nagari Bihari di Aceh
Sebuah temuan arkeologis kembali menggugah dunia sejarah Nusantara. Tim ekspedisi gabungan dari MAPESA, PEDIR Museum, CISAH, Pelisa, dan Aceh Darussalam Academy mengumumkan penemuan kawasan situs kuno di Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh. Situs ini diduga kuat berkaitan dengan peradaban kuno yang pernah berkembang di wilayah pesisir utara Sumatra.
Dalam ekspedisi yang digelar pada 30 Maret 2019 dan dilanjutkan dengan kegiatan meuseuraya pada 3 April 2019, ditemukan kompleks makam dengan batu nisan tua yang berasal dari era Lamuri abad ke-15 Masehi. Selain itu, di sekitar lokasi juga ditemukan sebaran fragmen tembikar dan keramik kuno yang memperkuat dugaan adanya kota pelabuhan kuno di lokasi tersebut.
Yang paling menarik perhatian adalah temuan paleografi pada salah satu batu nisan di kompleks tersebut. Di sana, tertulis jelas gelar penguasa setempat: Raja Nagari Bihari. Penemuan nama ini langsung mengundang berbagai tafsir, mengingat Bihari bisa merujuk pada banyak kemungkinan dalam tradisi lisan dan catatan sejarah.
Dalam bahasa Hindi, "Nagari" berarti kota. Namun, istilah ini juga memiliki kesamaan bunyi dengan "Nagari" dalam budaya Minangkabau yang berarti negeri atau desa adat. Bahkan di wilayah Simalungun, Sumatra Utara, dikenal istilah "Nagori" atau "Nagur" yang memiliki makna serupa. Fakta ini memperkuat dugaan adanya koneksi budaya antarwilayah di Sumatra pada masa lampau.
Lebih menarik lagi, istilah "Bihari" bisa dikaitkan dengan dua kemungkinan. Pertama, sebagai nama wilayah yang berasal dari India, yakni Bihar. Wilayah di India Utara itu telah dikenal sejak masa kuno sebagai pusat pembelajaran dan agama Buddha dan kemudian menjadi pusat Islam di era Mughal. Kedua, dalam pengucapan Arab, kata "bihār" berarti laut. Jika dikaitkan dengan posisi geografis situs di tepian selat, makna ini terasa masuk akal.
Dalam laporan The Suma Oriental of Tome Pires yang disusun pada awal abad ke-16, disebutkan tentang negeri Biar yang terletak di antara Aceh dan Pedir. Posisi ini identik dengan lokasi penemuan situs Gampong Tuha Biheu. Armando Cortesão, sejarawan Portugis, menyebut bahwa nama Biar sulit ditemukan jejak pastinya, namun lokasinya sesuai dengan kawasan Krueng Raya hingga Blang Raya.
MAPESA meyakini bahwa Bihar, Biar, dan Biheu sebenarnya merujuk pada lokasi yang sama. Penamaan yang berbeda muncul akibat perbedaan pelafalan oleh berbagai bangsa — mulai dari pedagang Arab, pelaut India, hingga kolonialis Portugis. Nama ini lantas berubah dalam dialek setempat menjadi Biheu.
Hubungan antara Nagari Bihari dan Bihar di India bisa jadi lebih dari sekadar kemiripan nama. Pada abad pertengahan, jalur perdagangan laut antara India dan Sumatra begitu aktif. Tidak menutup kemungkinan, para pedagang atau pemuka agama dari Bihar datang ke pesisir Aceh, membangun permukiman, dan bahkan mendirikan pemerintahan kecil di sana.
Kemungkinan lain, istilah Bihari diambil dari bahasa Arab "bihār" karena letaknya di tepi laut. Sebutan ini kemudian diadopsi oleh masyarakat setempat sebagai nama negeri mereka. Hal serupa pernah terjadi di wilayah pesisir Nusantara lainnya, di mana nama-nama Arab digunakan untuk menyebut tempat-tempat di dekat pantai.
Dalam konteks Sumatra, istilah Nagari sendiri telah lama digunakan. Di Minangkabau, Nagari adalah unit pemerintahan adat setingkat desa yang memiliki otonomi dan aturan tersendiri. Menariknya, di Simalungun dikenal istilah Nagori, yang meskipun memiliki struktur berbeda, tetap mengacu pada satuan masyarakat lokal. Keterkaitan istilah ini memperkuat dugaan adanya jaringan budaya pesisir utara Sumatra di masa lalu.
Jika benar Raja Nagari Bihari merupakan keturunan atau utusan dari Bihar India, maka hal ini membuktikan betapa kosmopolitnya kawasan pesisir Aceh saat itu. Perdagangan, agama, dan budaya saling bertukar di pelabuhan-pelabuhan kecil yang menjadi simpul peradaban maritim di Asia Tenggara.
Penemuan ini juga membuka peluang penelitian lebih lanjut tentang hubungan Sumatra dengan India Utara. Apakah benar terdapat komunitas Bihar di pesisir Aceh, ataukah nama Bihari muncul dari adaptasi bahasa setempat yang terinspirasi oleh pedagang asing?
Selain itu, kemunculan nama Nagari Bihari di batu nisan abad ke-15 M memperlihatkan pentingnya kawasan tersebut sebagai jalur strategis di sepanjang Selat Malaka. Posisi ini membuat wilayah ini menjadi persinggahan ideal bagi kapal-kapal yang berlayar dari Gujarat, Bengal, hingga Arab.
MAPESA berencana melakukan ekskavasi lanjutan untuk mencari jejak permukiman kuno, struktur pelabuhan, serta barang-barang budaya dari India atau Timur Tengah yang dapat menjadi bukti hubungan lintas samudera itu. Langkah ini diharapkan bisa memperkaya catatan sejarah Aceh dan Sumatra secara keseluruhan.
Penemuan situs di Gampong Tuha Biheu membuktikan bahwa masih banyak misteri sejarah Nusantara yang belum terungkap. Seiring dengan temuan ini, para sejarawan dan arkeolog kini dihadapkan pada tantangan untuk merangkai kembali kisah pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara Sumatra.
Jejak Raja Nagari Bihari mungkin baru satu dari sekian banyak kisah sejarah yang tersembunyi di balik hutan, bukit, dan pesisir Aceh. Namun, temuan ini membuktikan bahwa peradaban Nusantara telah menjalin hubungan global jauh sebelum era kolonial dimulai.
Post a Comment