Jejak Islam Abad ke-8 di Pedalaman Kalimantan?
Sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara selama ini lebih banyak dikaitkan dengan wilayah pesisir Sumatera dan Jawa. Nama-nama seperti Samudera Pasai dan Demak kerap disebut dalam buku-buku pelajaran sebagai daerah pertama yang menerima pengaruh Islam di Indonesia. Namun, sebuah penemuan di pedalaman Kalimantan Barat menghadirkan fakta yang mengejutkan, yang bisa mengubah cara pandang terhadap jalur masuknya agama ini di kepulauan Nusantara.
Batu Nisan Sandai yang ditemukan di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menjadi salah satu bukti penting keberadaan komunitas Muslim di Nusantara pada abad ke-8 Masehi. Batu nisan ini memuat inskripsi dalam aksara Arab kufi sederhana dengan angka tahun 127 Hijriah atau 745 Masehi. Angka ini menjadikan Batu Nisan Sandai sebagai salah satu bukti fisik Islam tertua di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Selama ini, sejarah Islam di Kalimantan memang kurang mendapat perhatian. Padahal, berbagai jalur perdagangan sungai di pulau ini sejak abad ke-7 Masehi telah menjadi nadi utama hubungan dagang antara pedalaman dan pesisir. Sungai-sungai besar seperti Kapuas, Mahakam, Barito, dan Kahayan menghubungkan Kalimantan dengan dunia luar. Pada masa itu, kapal-kapal dagang dari Persia, Arab, dan Gujarat telah menyinggahi berbagai pelabuhan kecil di pesisir Kalimantan, sebelum meneruskan perjalanan menuju kepulauan rempah-rempah di timur.
Temuan Batu Nisan Sandai memperkuat dugaan bahwa jalur masuk Islam ke Nusantara tidak hanya melalui pantai barat Sumatera, melainkan juga lewat jalur-jalur sungai di pedalaman Kalimantan. Lokasi Sandai yang berada di tepi sungai strategis diduga merupakan persinggahan penting dalam jalur perdagangan kuno. Para pedagang Muslim yang singgah di sini kemungkinan mendirikan komunitas kecil, yang kelak meninggalkan jejak berupa makam dengan inskripsi Islam.
Fakta bahwa inskripsi tersebut menggunakan aksara kufi — gaya tulisan Arab awal yang digunakan pada masa awal penyebaran Islam — menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Kalimantan terjadi seiring dengan pergerakan dagang dan pelayaran internasional. Penyebaran ini tampaknya berlangsung dalam skala kecil dan bertahap, melalui jalur-jalur perdagangan dan hubungan dagang yang terjalin antara pedagang Muslim dan penduduk lokal.
Sejarah mencatat, pada masa-masa awal, para pedagang Arab dan Persia memang kerap singgah di berbagai pelabuhan Nusantara, tidak hanya untuk berdagang, tetapi juga memperkenalkan ajaran Islam. Hubungan ini tidak selalu tercatat dalam sumber-sumber resmi, tetapi dapat ditelusuri lewat jejak arkeologi seperti batu nisan, prasasti, atau catatan asing. Batu Nisan Sandai menjadi salah satu dari sedikit bukti fisik yang tersisa dari fase awal tersebut.
Menariknya, keberadaan batu nisan ini lebih tua dari sejumlah peninggalan Islam yang selama ini dianggap sebagai yang tertua di Nusantara, seperti Batu Nisan Trengganu di Malaysia (1303 M) atau makam Malik al-Saleh di Samudera Pasai (1297 M). Dengan demikian, penemuan di Kalimantan Barat ini membuktikan bahwa kontak Islam dengan penduduk Nusantara terjadi lebih awal dari yang selama ini tercatat dalam sejarah resmi.
Sejak abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, jalur laut dan sungai di Asia Tenggara menjadi bagian dari jaringan dagang internasional yang menghubungkan Cina, India, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Pelayaran dan perdagangan menjadi sarana utama penyebaran budaya, termasuk agama. Dalam konteks ini, Kalimantan yang kaya hasil bumi seperti kapur barus, damar, dan rotan tentu menjadi persinggahan strategis.
Kedatangan Islam ke Kalimantan tidak selalu dalam bentuk dakwah formal seperti di Jawa atau Sumatera Barat. Lebih sering, ajaran ini diperkenalkan melalui interaksi sehari-hari di pelabuhan, pasar, dan persinggahan. Batu Nisan Sandai adalah sisa dari sebuah komunitas kecil yang sudah mengenal Islam dan menjalankan tradisi pemakaman sesuai syariat, bahkan sebelum kawasan lain di Nusantara menerima agama ini secara luas.
Sebelum penemuan Batu Nisan Sandai, sejarah Islam di Kalimantan biasanya dimulai dari abad ke-15 dengan munculnya Kesultanan Banjar. Namun, keberadaan inskripsi abad ke-8 ini membuktikan bahwa penyebaran Islam ke wilayah ini telah dimulai jauh sebelumnya. Meski dalam skala kecil dan terbatas di kalangan pedagang atau pendatang, bukti ini tak bisa diabaikan.
Kalimantan, khususnya wilayah pesisir dan jalur sungainya, sejak dahulu menjadi bagian dari lalu lintas perdagangan maritim Asia Tenggara. Adanya komunitas Muslim di Sandai membuktikan bahwa kawasan ini telah menjadi persinggahan penting dalam jaringan pelayaran internasional sejak abad ke-7.
Jejak Islam di Kalimantan sebenarnya bisa ditemukan di berbagai daerah, meskipun sebagian besar baru berasal dari periode setelah abad ke-15. Makam kuno di Martapura, Lawai, dan Tanjungpura misalnya, juga menyimpan peninggalan Islam awal, meskipun tak setua Batu Nisan Sandai. Fakta ini memperlihatkan bahwa Kalimantan memiliki sejarah Islam yang lebih panjang dari perkiraan sebelumnya.
Jika ditelusuri lebih jauh, interaksi antara pedagang Muslim dan penduduk lokal tidak hanya meninggalkan jejak agama, tetapi juga budaya, sistem nilai, dan bahkan struktur sosial. Tradisi pernikahan, tata cara bermasyarakat, dan seni ukir di Kalimantan banyak menyerap unsur budaya Islam sejak periode awal. Batu nisan dengan inskripsi Arab kuno menjadi salah satu buktinya.
Selain sebagai penanda makam, batu nisan kuno kerap dijadikan media penyebaran pesan keagamaan. Inskripsi yang tertulis di Batu Nisan Sandai, meskipun ringkas, merupakan bentuk penyampaian ajaran tentang pentingnya mempersiapkan kematian dan akhirat, tema sentral dalam dakwah Islam awal.
Keberadaan inskripsi kufi sederhana pada batu tersebut menunjukkan bahwa komunitas Muslim di Sandai masih memegang tradisi Islam awal yang cenderung sederhana dan tidak banyak menggunakan ornamen artistik yang berkembang belakangan di dunia Islam. Ini juga menjadi bukti bahwa dakwah Islam awal di Nusantara berlangsung dalam kerangka ajaran yang murni, sebelum pengaruh budaya lokal mengubah wujudnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara berlangsung melalui berbagai jalur dan pola, tidak hanya melalui kerajaan-kerajaan besar di pesisir, tetapi juga melalui komunitas-komunitas kecil di pedalaman yang memiliki akses ke jaringan perdagangan. Dengan demikian, sejarah Islam Indonesia sesungguhnya jauh lebih kompleks dan kaya daripada yang selama ini tertulis dalam narasi resmi.
Batu Nisan Sandai bukan hanya artefak kuno, tetapi sekaligus saksi bisu sebuah bab awal sejarah Islam di Nusantara. Ia merekam jejak peradaban yang berkelindan dengan jalur perdagangan, mobilitas pelaut Muslim, dan pertemuan budaya yang telah berlangsung sejak lebih dari 1.200 tahun lalu di jantung Kalimantan.
Penemuan ini seharusnya menjadi titik tolak bagi upaya menelusuri kembali jalur penyebaran Islam di Nusantara secara lebih luas, termasuk peran Kalimantan yang selama ini sering terabaikan. Dengan begitu, sejarah Islam Indonesia akan tampil lebih utuh, mencerminkan kenyataan bahwa penyebaran agama ini menyentuh berbagai pelosok Nusantara jauh lebih awal dan lebih beragam dari yang selama ini diyakini.
Dibuat oleh AI, lihat sumber
Post a Comment