Jejak Mesir Kuno dan Nusantara di Sumatera dan Pasifik?
Sejarah maritim Nusantara kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan keterlibatan bangsa Mesir kuno dalam jalur pelayaran kuno di Asia Tenggara. Sebuah simbol berbentuk spiral trisula yang ditemukan di situs Muara Takus, Riau, memantik perhatian sejumlah peneliti sejarah alternatif. Motif tersebut dinilai memiliki kemiripan dengan ornamen simbolik yang pernah digunakan dalam peradaban Mesir Kuno.
Simbol spiral trisula itu menyerupai corak matahari berputar, yang dalam budaya Mesir kuno kerap dihubungkan dengan dewa matahari dan siklus kehidupan. Beberapa pakar berpendapat, kemiripan itu bisa saja menunjukkan adanya hubungan budaya melalui jalur pelayaran ribuan tahun silam. Salah satu tokoh yang namanya kembali disebut adalah Ratu Hatshepsut, penguasa perempuan Mesir kuno yang terkenal dengan ekspedisi maritimnya ke negeri asing.
Dalam sejarah resmi Mesir, tercatat bahwa Ratu Hatshepsut pernah mengirim armada laut menuju negeri tropis bernama Punt sekitar tahun 1493 SM. Negeri Punt sendiri menjadi misteri hingga kini, lantaran lokasi pastinya belum bisa dipastikan. Sebagian sejarawan meyakini Punt berada di pesisir Afrika Timur, sementara teori alternatif berani menyebut wilayah Nusantara sebagai salah satu kandidatnya.
Keyakinan ini tidak datang tanpa alasan. Catatan Mesir kuno menggambarkan Punt sebagai negeri kaya rempah, damar, kayu manis, emas, dan gading — hasil bumi yang juga menjadi komoditas utama Sumatera kuno. Muara Takus, yang sejak lama dikenal sebagai salah satu situs peradaban tua di pesisir timur Sumatera, disebut-sebut telah menjadi pelabuhan penting jauh sebelum masa kejayaan Sriwijaya.
Masyarakat sekitar Muara Takus masih menyimpan cerita lisan tentang kunjungan kapal-kapal asing dari negeri jauh. Beberapa tokoh adat bahkan percaya bahwa pelabuhan tua di kawasan itu pernah disinggahi bangsa asing yang bukan berasal dari India ataupun Tiongkok. Kisah-kisah tersebut diwariskan turun-temurun, meskipun belum banyak diteliti secara ilmiah.
Selain di Sumatera, jejak dugaan pelayaran kuno bangsa asing juga ditemukan di Papua. Di sebuah gua purba yang dikenal dengan nama Cave of Sailors, ditemukan lukisan dan ukiran misterius bergaya non-Austronesia. Pola dan motif di dalam gua itu disebut-sebut memiliki kemiripan dengan simbol-simbol kuno dari kawasan Mediterania.
Sejumlah peneliti menduga gua tersebut pernah disinggahi oleh pelaut Fenisia, bangsa pelaut terkenal asal Levant yang aktif sejak abad ke-15 SM. Bangsa Fenisia dikenal menjelajahi Laut Tengah hingga Samudra Hindia, dan memiliki hubungan dagang erat dengan Mesir pada masa Ratu Hatshepsut. Dugaan ini semakin kuat jika mengingat kemampuan navigasi bangsa Fenisia yang mampu menyeberangi lautan luas.
Dugaan mengenai pelayaran kuno lintas samudra tidak berhenti di situ. Sejumlah ahli sejarah alternatif mengangkat kembali teori pelayaran Mesir kuno ke Samudra Pasifik. Salah satu wilayah yang diyakini pernah menjadi persinggahan adalah Pulau Paskah, sebuah pulau terpencil di tenggara Samudra Pasifik yang terkenal dengan patung raksasa Moai-nya.
Pulau Paskah selama ini dihuni oleh bangsa Polinesia, keturunan pelaut Austronesia yang leluhurnya berasal dari Nusantara. Mereka dikenal sebagai bangsa maritim tangguh yang mampu menyeberangi lautan lepas sejauh ribuan kilometer tanpa bantuan kompas. Teori pun muncul bahwa bangsa Melayu-Polinesia berperan dalam membantu pelayaran bangsa Mesir atau Fenisia menyeberangi Samudra Pasifik.
Beberapa motif budaya dan arsitektur di Pulau Paskah dinilai memiliki kemiripan dengan corak megalitik Asia Tenggara. Selain itu, tradisi pelayaran dan struktur masyarakat di kawasan Pasifik menunjukkan unsur-unsur budaya yang sejalan dengan kebudayaan Nusantara. Hal ini membuka kemungkinan adanya pertukaran budaya di masa lampau.
Di benua Amerika, tepatnya di wilayah Peru dan Bolivia, struktur piramida serta teknik batu presisi tanpa semen mengingatkan pada teknik bangunan Mesir kuno dan Asia Tenggara. Kesamaan tersebut menimbulkan dugaan bahwa peradaban kuno lintas benua pernah terhubung melalui jalur laut ribuan tahun silam.
Pada dekade 1990-an, dunia arkeologi pernah dihebohkan dengan hasil laboratorium yang menemukan zat tembakau dan kokain dalam tubuh beberapa mumi Mesir kuno. Tumbuhan tersebut hanya dikenal tumbuh di benua Amerika, jauh dari Mesir, sehingga memicu perdebatan sengit tentang kemungkinan kontak prasejarah antara kedua kawasan.
Temuan itu sempat dianggap mustahil oleh kalangan arkeolog konservatif. Namun, sebagian peneliti melihatnya sebagai bukti pendukung bahwa jalur pelayaran lintas benua sudah ada jauh sebelum era Columbus maupun Vasco da Gama. Meski masih kontroversial, temuan ini semakin memperkuat hipotesis hubungan maritim kuno yang selama ini diabaikan.
Teori-teori tersebut memang masih dianggap spekulatif oleh sebagian besar akademisi arus utama. Minimnya bukti arkeologis yang dapat diverifikasi membuat narasi ini kerap dipandang sebagai mitos belaka. Namun, jejak budaya, artefak misterius, dan cerita lisan di berbagai penjuru dunia terus memancing rasa penasaran banyak pihak.
Di Nusantara, keberadaan situs-situs purba seperti Muara Takus dan Cave of Sailors menjadi pengingat bahwa kawasan ini pernah menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan maritim kuno. Jalur ini kemungkinan besar menjadi penghubung antara peradaban Asia, Afrika, hingga Samudra Pasifik.
Kisah pelayaran bangsa-bangsa kuno ke Nusantara bukan sekadar legenda. Sejarah menunjukkan bahwa wilayah ini telah dikenal sebagai sumber rempah, logam mulia, dan bahan berharga lainnya sejak ribuan tahun silam. Hal inilah yang menarik bangsa asing untuk datang dan menjalin hubungan dagang maupun budaya.
Seiring waktu, peninggalan-peninggalan budaya tersebut masih bisa ditemukan di berbagai wilayah Nusantara. Mulai dari nekara perunggu di Kalimantan, prasasti batu di Sumatera, hingga lukisan gua di Papua yang menyimpan petunjuk tentang hubungan maritim kuno lintas benua.
Muara Takus dan Cave of Sailors pun menjadi saksi bisu peradaban Nusantara di masa lalu. Situs-situs ini menyimpan cerita yang masih belum seluruhnya terungkap oleh para arkeolog dan sejarawan modern. Sejumlah penelitian baru diharapkan dapat membuka tabir sejarah maritim kuno di kawasan ini.
Keterlibatan pelaut Melayu-Polinesia dalam pelayaran lintas Pasifik pun makin menarik untuk diteliti lebih dalam. Kemampuan mereka menaklukkan lautan luas sejak ribuan tahun lalu memberi peluang bahwa mereka turut serta dalam ekspedisi pelayaran bangsa-bangsa kuno dari Barat.
Di masa depan, siapa tahu jejak-jejak peradaban Mesir kuno, Fenisia, dan Nusantara di jalur maritim Samudra Hindia dan Pasifik dapat terungkap lebih gamblang. Sejarah pun mungkin harus menulis ulang kisah pelayaran dunia kuno yang selama ini tersembunyi di balik kabut legenda.
Post a Comment