Jejak Morisco di Balik Pelayaran Samudera Portugis dan Spanyol eks Andalusia
Sejarah pelayaran samudera di era penjelajahan Eropa menyimpan kisah yang lebih kompleks dari sekadar ekspansi kolonial. Di balik layar armada Spanyol dan Portugis, terdapat kemungkinan keterlibatan kaum Morisco — Muslim Andalusia yang dipaksa memeluk Katolik pasca jatuhnya Granada pada 1492. Para sejarawan menduga, beberapa di antara mereka turut serta dalam pelayaran menuju Dunia Baru bersama pelaut seperti Christopher Columbus.
Tahun 1492 menandai runtuhnya kerajaan Islam terakhir di Spanyol sekaligus awal ekspedisi Columbus ke Benua Amerika. Masa itu menyaksikan ribuan Muslim diusir, dibantai, atau dipaksa pindah agama. Namun, sejumlah Morisco diyakini tetap mempertahankan identitas dan keahlian maritimnya secara diam-diam, lalu bergabung dalam kapal-kapal penjelajah Spanyol dan Portugis yang mencari jalur dagang baru dan kemudian menetap di berbagai tempat dan menjadi Islam kembali tanpa disembunyikan.
Kemampuan navigasi umat Islam saat itu memang tidak diragukan. Sejak abad ke-9, pelaut Muslim dari Andalusia, Afrika Utara, hingga Nusantara telah menjelajahi lautan luas. Catatan kuno menyebut pelaut Aceh dan Minangkabau pernah berlayar hingga jauh ke Barat, bahkan mendekati pesisir benua Amerika jauh sebelum era Columbus.
Kawasan seperti Aceh dikenal memiliki penduduk bermata biru di Lamno, yang diduga hasil percampuran dengan pelaut Eropa, termasuk Morisco dari Portugis. Di Sulawesi, khususnya Buton, jejak serupa juga ditemukan, memperkuat dugaan adanya interaksi intensif antara pelaut Muslim dan penduduk Nusantara.
Di tengah pengusiran massal kaum Muslim dari Iberia, kapal-kapal pelayaran menjadi pelarian bagi para Morisco yang ingin menghindari pembantaian. Mereka menyamar sebagai pelaut Katolik namun tetap memeluk Islam secara sembunyi-sembunyi. Beberapa di antaranya konon memilih menetap di jalur-jalur pelayaran seperti Aceh dan Maluku.
Tak mengherankan bila sejumlah marga Portugis seperti Pinto dan Da Gama justru ditemukan di Nusantara dalam komunitas Muslim. Meski nama mereka berbau Portugis, identitas dan keyakinan tetap dipertahankan, menjadi bagian dari sejarah Islam di Asia Tenggara.
Sisi kelam penjelajahan Portugis di Samudera Hindia tercatat jelas dalam sejarah. Vasco da Gama, tokoh pelayaran yang kerap dipuja di Eropa, dikenal kejam terhadap Muslim. Dalam ekspedisi keduanya ke India, ia membakar kapal Mesir berisi jamaah haji yang baru pulang dari Makkah, menewaskan ratusan orang tanpa ampun.
Ensiklopedia Sejarah Universalis mencatat pelayaran da Gama pada 1502 membawa armada besar dari Lisbon yang dipersenjatai untuk misi penguasaan dan intimidasi di Samudera Hindia. Kebencian terhadap Islam begitu kuat di kalangan bangsawan Portugis abad ke-16, bahkan Raja Manuel I bermimpi menghapus Islam sepenuhnya.
Sejarawan Sanjay Subrahmanyam dari University of California menyoroti obsesifnya da Gama memerangi Islam. Ia menuntut pengusiran Muslim dari India dan mengultimatum penguasa setempat untuk memutus hubungan dengan komunitas Islam sebagai syarat perdamaian.
Ketika ditolak, da Gama membalas dengan brutal. Pada Oktober 1502, ia membombardir Kalkutta selama tiga hari, menawan tentaranya, lalu menggantung, memutilasi, dan melemparkan jasad mereka ke laut. Kekejaman ini menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam dalam sejarah pelayaran samudera.
Kabar kekejaman Portugis sampai ke Nusantara. Sultan Alauddin dari Aceh mengirim surat kepada Sultan Turki Ottoman, meminta bantuan militer dan perlindungan jalur haji yang saat itu kerap dibajak oleh Portugis. Surat itu menyuarakan penderitaan Muslim di bawah teror laut Portugis.
Dalam suratnya, Sultan Alauddin menggambarkan bagaimana kapal-kapal Muslim dibajak, jamaah haji dibunuh, dijadikan budak dan wilayah penting di Samudera Hindia jatuh ke tangan Portugis. Sultan bahkan menawarkan agar Aceh dijadikan bagian dari Ottoman dan dirinya sebagai wakilnya di nusantara.
Permintaan itu tidak sekadar strategi politik, tapi juga bentuk solidaritas Islam global menghadapi kolonialisme Kristen Eropa. Surat itu juga menegaskan bahwa masyarakat Muslim Nusantara kala itu telah mengikuti mazhab Syafi’i, sebagaimana yang masih berlaku hingga saat ini.
Surat Sultan Aceh menjadi bukti penting perlawanan Nusantara terhadap dominasi Eropa. Ia juga menyinggung praktik perbudakan yang dilakukan Portugis terhadap jamaah haji dan rakyat miskin di kepulauan Asia Tenggara, termasuk permintaan upeti yang memberatkan.
Kisah ini memperlihatkan bahwa pelayaran samudera bukan hanya soal dagang dan eksplorasi, tetapi juga politik, agama, dan perjuangan identitas. Morisco yang terlibat dalam pelayaran Spanyol dan Portugis adalah potret nyata bagaimana diaspora Muslim bertahan dalam tekanan sejarah.
Sebagian dari mereka memilih menyatu dengan masyarakat pelabuhan seperti Aceh, Maluku, dan Buton, membangun keluarga, serta kembali memeluk Islam secara terbuka di lingkungan baru yang lebih aman dari ancaman inquisisi Eropa.
Jejak keberadaan mereka tersisa lewat ciri-ciri fisik keturunan dan marga Portugis yang kini menjadi bagian dari komunitas Muslim Nusantara. Ini sekaligus membuktikan bahwa pelayaran samudera adalah jalur penyebaran budaya dan agama yang saling bersilangan.
Sejarah perjalanan Columbus, da Gama, dan ekspedisi Eropa lainnya seharusnya tidak dilihat sepihak. Ada wajah-wajah Morisco, pelaut Muslim Afrika, dan mungkin bahkan pelaut Nusantara yang ikut dalam armada-armada itu, menyelamatkan diri sekaligus menyebarkan warisan peradaban Islam.
Di balik kemegahan kisah penjelajahan samudera Eropa, tersembunyi riwayat pahit diaspora Muslim, perjuangan mempertahankan keyakinan, serta keberanian menentang kekuasaan kolonial yang kejam di lautan luas.
Dibuat oleh AI, baca info lainnya di bawah ini:
1. https://www.facebook.com/share/19HTvPuZuh/
2. https://www.orangperak.com/sejarah-aceh-berkuasa-di-perak.html
3. https://news.republika.co.id/berita/srjxi2393/dulu-alauddin-kini-prabowo-sejarah-bantuan-militer-turki-ke-nusantara
Post a Comment