Header Ads

Jejak Administrasi Kuno Nusantara dalam Istilah Batak


Sejarah administrasi Nusantara zaman kuno menyimpan banyak istilah yang menarik untuk ditelusuri. Salah satunya adalah istilah "Batak" yang selama ini dikenal sebagai nama etnis di Sumatera Utara. Namun, kajian terbaru menyebutkan bahwa istilah tersebut kemungkinan besar berasal dari kata "Watak" atau "Vatak", yang merupakan unit administratif dalam sistem birokrasi Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Jawa Kuno.

Dalam prasasti-prasasti Jawa abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, istilah "Watak" digunakan untuk menyebut unit administratif yang membawahi beberapa "Wanua" atau desa. Menariknya, sebuah watak tidak selalu berbentuk satuan wilayah yang berdekatan secara geografis, melainkan lebih bersifat administratif. Hal ini menunjukkan sistem pemerintahan di masa itu sudah mengenal manajemen wilayah berbasis kepentingan administrasi, bukan sekadar batas wilayah fisik.

Kemungkinan bahwa istilah Batak berasal dari Watak ini cukup kuat, mengingat migrasi dan pengaruh kebudayaan dari Sumatera bagian selatan hingga ke pedalaman Tapanuli pada masa Sriwijaya sangat luas. Apalagi, tradisi lisan dan sistem pemerintahan adat Batak juga mengenal sistem administratif berjenjang yang disebut Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru.

Banua Ginjang dalam adat Batak seringkali dimaknai sebagai wilayah di hulu atau di atas, tetapi dalam konteks administrasi, istilah ini bisa saja merujuk pada pusat pemerintahan. Sementara Banua Tonga berada di tingkatan tengah, yang sepadan dengan struktur provinsi atau distrik. Adapun Banua Toru berada di tingkat paling bawah, setara dengan dusun atau desa.

Sistem tiga lapis ini mengingatkan pada sistem birokrasi kerajaan Jawa Kuno, di mana dikenal Rajya di tingkat pusat, Watak di tingkat administratif menengah, dan Wanua di tingkat desa. Kemiripan konsep ini menunjukkan adanya kesinambungan budaya administrasi di Nusantara yang diwariskan antar wilayah, terutama melalui pengaruh Sriwijaya.

Tidak hanya soal istilah Batak, legenda masyarakat Batak tentang Siboru Deak Parujar juga menarik untuk dikaitkan dengan struktur jabatan kuno. Nama Parujar berasal dari kata “ujar” yang dalam prasasti Jawa Kuno berarti ucapan atau pesan. Jabatan Parujar di masa itu diyakini sebagai pejabat komunikasi atau juru bicara resmi di tingkat desa.

Dengan demikian, tokoh legendaris seperti Siboru Deak Parujar bisa jadi merupakan simbol atau personifikasi dari jabatan penting dalam masyarakat kuno. Sebagai figur yang menghubungkan manusia pertama dengan langit dalam mitologi Batak, ia bisa saja adalah sosok penyampai pesan atau pejabat penerangan dalam sistem sosial masa lampau.

Bukti lain yang memperkuat hipotesis ini datang dari daftar jabatan dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno. Di tingkat Wanua, dikenal jabatan seperti Winkas yang menyampaikan pesan, dan Parujar sebagai juru bicara. Keduanya memainkan peran penting dalam komunikasi pemerintahan, baik ke dalam maupun ke luar wilayah.

Jabatan-jabatan tradisional Nusantara tempo dulu tidak berhenti di situ. Dalam prasasti masa Raja Balitung abad ke-9 M, tercatat sekitar 30 jenis jabatan di tingkat desa, seperti Gusti, Tuha Kalang, Tuha Alas, dan Tuha Wereh. Masing-masing memiliki tugas khusus, mulai dari mengurusi irigasi, beras, hingga perburuan.

Sistem birokrasi ini bersifat kolektif, di mana para pejabat desa setara dalam kedudukan. Hal itu terlihat dari besaran pasek (persembahan) yang diterima saat upacara resmi, yang jumlahnya sama bagi tiap pejabat. Ini menandakan pemerintahan lokal di Nusantara kuno menganut prinsip musyawarah dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan.

Jabatan seperti Hulu Air, Wariga, dan Hulu Wras mencerminkan spesialisasi tugas yang sudah maju di masa itu. Ada pejabat yang khusus bertanggung jawab atas air dan bendungan, menentukan hari baik, hingga mengatur lumbung beras. Hal ini menunjukkan manajemen desa yang sangat tertata, bahkan jauh sebelum era kolonial.

Di luar itu, ada pula jabatan-jabatan unik seperti Hulu Turus yang mengurusi batas tanah, dan Danda yang kemungkinan bertugas menangani urusan hukuman atau disiplin. Bahkan ada jabatan Mangatag yang berkaitan dengan perintah langsung dari raja atau pusat pemerintahan.

Kemungkinan besar, sistem ini diadopsi atau berkembang paralel di wilayah Sumatera, khususnya dalam pengaruh Sriwijaya. Jejak istilah Banua Ginjang, Tonga, dan Toru yang digunakan masyarakat Batak menunjukkan adanya adaptasi sistem administratif kuno tersebut di kawasan Danau Toba dan sekitarnya.

Dalam konteks Sriwijaya, sistem administratif memang sudah terbagi hingga ke pelosok. Prasasti-prasasti di Sumatera Selatan dan Jambi menyebut adanya pejabat pengurus bendungan, jembatan, dan pengatur batas wilayah. Pola ini identik dengan jabatan di Jawa Kuno, menunjukkan adanya hubungan erat antar pusat kekuasaan di Nusantara.

Jika ditelusuri lebih jauh, istilah Banua sendiri berasal dari bahasa Proto-Austronesia yang berarti wilayah atau kampung. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini tetap lestari di berbagai daerah seperti di Minangkabau, Toraja, dan Dayak dengan fungsi administratif yang berbeda-beda.

Penelitian mengenai jejak administrasi kuno Nusantara ini membuka peluang untuk memahami sejarah politik dan sosial di masa lampau secara lebih menyeluruh. Selain menunjukkan kesinambungan budaya, hal ini juga membuktikan bahwa masyarakat kepulauan Indonesia telah mengenal tata kelola wilayah yang rapi sejak lebih dari seribu tahun lalu.

Dengan perkembangan teknologi kajian epigrafi dan arkeologi, hipotesis tentang asal-usul istilah Batak dari Watak semakin mendapat tempat dalam diskusi akademik. Demikian pula dengan peran mitologi lokal seperti Siboru Deak Parujar yang bisa saja berakar dari struktur jabatan tradisional.

Pengetahuan ini diharapkan bisa memperkaya khazanah sejarah lokal dan mempererat hubungan antar masyarakat adat di Indonesia, yang sesungguhnya memiliki akar budaya yang sama sejak masa pra-Islam hingga era kerajaan besar Nusantara.

Powered by Blogger.