Sejarah Putri Hijau yang Sering Terlupakan
Di balik senyapnya hutan-hutan tua Deli Tua dan gemuruh arus di Labuhan Deli, ada kisah luka yang mengendap dalam tanah—kisah tentang darah suci yang tumpah demi martabat dan tanah air. Ia bukan sekadar putri istana. Ia adalah keturunan mulia secara tidak langsung, zurriyat Rasulullah SAW, yang tubuhnya hancur oleh meriam penjajah, namun jiwanya tetap hidup dalam denyut sejarah yang tak pernah mati. Dialah Putri Hijau.
Tak banyak yang tahu, Putri Hijau diyakini sebagai anak dari Raja Puteri, keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah dari Kesultanan Aceh. Jalur nasab Sultan bersambung jalur suci Rasulullah SAW. Ia lahir dalam lingkaran istana, dibesarkan dengan akhlak dan ilmu yang luhur. Namun takdir menuliskan jalan kepahlawanannya bukan dengan mahkota, melainkan dengan kesyahidan.
Berikut Silsilah leluhurnya Sultan Alauddin ke Rasulullah SAW
* Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassalam
* Fatimah Az-Zahra
* Hasan Al-Mujtaba
* Hasan Al-Mutsanna
* Abdullah Al-Mahdi
* Musa Al-Jun
* Abdullah Al-Makarim
* Musa Ats-Tsani
* Dawud Al-Amir
* Muhammad Al-Madani
* Yahya Az-Zahid
* Abdullah Al-Jili
* Musa Al-Mutsallats
* Abdul Qadir Al-Jailani
* Abdul Aziz
* Muhammad Al-Hatak
* Syamsuddin
* Syarafuddin
* Zainuddin
* Waliyuddin
* Nuruddin Al-Awwal
* Hussamuddin
* Yahya Ad-Darwisy
* Sultan Muhammad Syah Lamri Nuruddin Ats-Tsani
* Sultan Munawar Syah Abu Bakar
* Sultan Syamsu Syah Abdurrahim
* Muzaffar Syah Ahmad
* Al-Malik Firman Syah Ibrahim
* Sultan Alauddin Riayat Syah As-Sayyid Al-Mukammil Al-Qadiri Al-Jailani / Al-Kailani Al-Hasani
Saat Portugis menjejakkan kaki di tanah Haru sekitar tahun 1523 M, mereka datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai penjajah haus kuasa. Dari Malaka mereka berlayar membawa artileri dan pasukan bayaran dari Goa, Macao, dan wilayah kekuasaan kolonial lainnya. Tanah Deli yang semula damai bahkan berdagang dengan Portugis, berubah menjadi medan pembantaian. Rumah-rumah dibakar, penduduk diteror, dan istana direbut paksa.
Makmun Al Arsyid, panglima dan pemimpin Haru, gugur bersama seluruh pasukannya. Mereka memilih mati di medan tempur daripada hidup dalam tunduk. Putri Hijau menyaksikan semuanya—kematian saudara, tangisan rakyat, dan kehancuran negerinya. Ia tak melarikan diri. Ia tetap berdiri di antara puing-puing istana yang terbakar, menyulam zikir di sela-sela tangis yang pilu.
Ditawan bersama lima putrinya oleh pasukan Keling India di bawah komando Portugis, Putri Hijau menjadi saksi betapa gelapnya hati penjajah. Para putri yang masih belia diperkosa dan dirusak kehormatannya. Dan di tengah semua itu, Putri Hijau tetap teguh. Ia tak mengemis ampun, tak menyerahkan kehormatan dirinya sebagai keturunan Rasul. Ia memilih jalan yang lebih tinggi—jalan syuhada.
Diikat ke moncong meriam oleh tentara Portugis, Putri Hijau tak mengutuk atau meratap. Bibirnya tetap basah oleh zikir, menyebut nama Tuhannya dalam derai tenang. Lalu dentuman keras merobek langit dan tubuhnya hancur tak bersisa. Tubuh mulia itu melebur bersama tanah, namun jiwanya menjelma cahaya di hati umatnya.
Sisa dari meriam itu, yang kini dikenal sebagai Meriam Puntung, menjadi relik suci. Bukan karena besinya, tetapi karena kisah yang melekat padanya. Meriam itu bukan hanya senjata, tetapi saksi bisu dari gugurnya darah seorang zurriyat Nabi yang tak gentar melawan ketidakadilan.
Kesyahidan Putri Hijau bukan hanya tragedi keluarga istana. Ia adalah ratapan sejarah, tangis panjang bangsa yang dikhianati. Tapi dalam tangis itu ada cahaya. Ia mengajarkan bahwa darah suci tak pernah sia-sia. Ia mengalir dalam sungai perjuangan, menumbuhkan harapan, dan menyuburkan semangat bangsa yang tak ingin tunduk pada tirani.
Sosok Putri Hijau adalah pengingat bahwa perempuan pun mampu menjadi benteng terakhir kehormatan negeri. Ia bukan hanya simbol keanggunan, tetapi lambang keberanian dan pengorbanan tertinggi. Ia gugur bukan demi kekuasaan, tapi demi martabat bangsanya—dan demi kemuliaan rakyatnya.
Seandainya negeri ini tahu betapa dalam luka yang dibawa oleh sejarah Putri Hijau, maka setiap Hari Pahlawan akan diiringi doa untuknya. Ia layak disandingkan dengan syuhada lainnya yang gugur dalam medan juang. Bukan karena istananya, tapi karena jiwanya yang setia pada kebenaran.
Kini, kita hidup dalam kemerdekaan yang dibangun dari darah para syuhada seperti Putri Hijau. Tapi apakah kita sudah cukup menghargai mereka? Apakah nama-nama suci seperti dirinya sudah diabadikan dalam ingatan nasional?
Sudah saatnya bangsa ini mengenang Putri Hijau bukan sekadar dongeng rakyat, tapi sebagai syahidah sejati. Ia bukan sekadar perempuan biasa—ia adalah pelita di tengah malam kolonialisme. Namanya harus ditulis dalam tinta emas sejarah, sebagai Pahlawan Nasional yang gugur menjaga kemuliaan Islam dan tanah air.
Sebab meskipun tubuhnya tak lagi utuh, Putri Hijau telah menyatu dengan bumi yang ia cintai. Ia adalah darah Rasul yang menetes di Deli, menjadi saksi bahwa keturunan Nabi pun tak luput dari kekejaman penjajah, namun memilih mati dengan kehormatan daripada hidup dalam hina.
Dan dalam setiap desau angin dari arah Deli Tua, jika kita cukup diam dan bersih hati, mungkin kita masih bisa mendengar zikir lembut itu—zikir terakhir Putri Hijau sebelum tubuhnya menyatu dengan meriam, dan jiwanya naik ke langit sebagai syuhada.
Catt:
Cerita tentang Putri Hijau hidup dalam banyak versi, baik dalam budaya Karo, Melayu, maupun Aceh. Kisah-kisah ini berbeda dalam narasi dan penekanan latar belakang, namun semuanya menempatkan sang putri sebagai simbol keberanian, kehormatan, dan pengorbanan. Bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai tokoh Batak, berdasarkan catatan bangsa Portugis yang menyebut Kerajaan Aru sebagai wilayah bangsa "Batta".
Namun istilah "Batta" sendiri memicu diskusi tersendiri. Beberapa peneliti mengaitkan istilah tersebut bukan hanya dengan etnis Batak, tetapi juga dengan istilah "Bhatta" (Bangsawan) dari India, atau "Batee" dalam tradisi Aceh yang merujuk pada keturunan Arab, India, atau kaum ekspatriat lainnya. Ini mencerminkan betapa majemuknya identitas etnis dan sosial di kawasan pesisir Sumatera pada masa itu.
Terlepas dari perdebatan identitasnya, Putri Hijau tetap dikenal sebagai sosok sentral dalam perlawanan melawan kolonialisme Portugis. Saat pasukan Portugis yang dibantu tentara bayaran dari Goa, India dan Macao, Cina menyerbu Kesultanan Haru Delitua pada tahun 930 H/1523 M, Putri Hijau menjadi simbol kehormatan dan keberanian.
Lihat tema terkait:
1. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sultan_Alauddin_Riayat_Syah
2. https://repositori.kemdikbud.go.id/30826/1/Putri%20Hijau.pdf
3. https://www.facebook.com/share/p/1BsV7V7Bvp/
4. https://www.facebook.com/share/p/1CDmvRftkM/
5. https://www.facebook.com/share/r/1AVUt3G4GQ/
6. https://www.facebook.com/share/r/1EikZYuqN4/
7. https://www.facebook.com/share/p/1BKjsGMXTS/
8. https://www.facebook.com/share/v/16F2wM35Bw/
9. https://www.facebook.com/share/p/19qXj13qqc/
Post a Comment