Header Ads

Di Balik Serangan Israel ke Teheran, Inggris Incar Lagi Ladang Minyak Iran

Ambisi lama Inggris di tanah Persia seolah menemukan momentumnya kembali di tengah memanasnya ketegangan antara Israel dan Iran. Meski secara diplomatik pemerintah Inggris terus menyerukan pentingnya de-eskalasi di kawasan, namun di balik layar mereka justru mengerahkan kekuatan militernya ke wilayah Teluk Persia. Beberapa pesawat tempur Typhoon dan pesawat tanker udara telah dikirim sebagai bagian dari operasi kontingensi, di tengah kemungkinan konflik terbuka antara Teheran dan Tel Aviv.

Langkah ini memunculkan kembali bayang-bayang sejarah kelam hubungan Iran dan Inggris, khususnya soal kendali atas sumber daya minyak Iran. Sejak ditemukannya ladang minyak raksasa di Masjed Soleiman pada 1908, Inggris melalui Anglo-Persian Oil Company (APOC) menjadi pihak asing pertama yang menguasai sumber energi vital tersebut. Dengan membeli 51% saham perusahaan itu pada 1914, pemerintah Inggris secara efektif mengendalikan industri perminyakan Persia, yang kemudian menjadi fondasi kekuatan ekonomi London di Timur Tengah.

Sejarah panjang keterlibatan Inggris di Persia bukan sekadar soal bisnis, tapi juga campur tangan politik. Di masa Revolusi Rusia, Inggris menjadikan wilayah Iran sebagai pangkalan serangan terhadap kaum Bolshevik di Rusia Selatan. Bersamaan itu, tentara Inggris bersama sekutunya menguasai sebagian besar wilayah Iran di luar ibukota, menyingkirkan pengaruh Qajar yang semakin lemah. Hal ini membuat Inggris dan Rusia secara de facto membagi kontrol atas Persia, jauh sebelum isu nasionalisasi minyak muncul di era Mohammad Mossadegh.

Perjanjian konsesi minyak awalnya diberikan oleh Shah Persia, Mozaffar al-Din Qajar, kepada pengusaha Inggris William Knox D'Arcy. Dengan nilai kontrak yang sangat timpang, Inggris mendapat hak eksplorasi selama 60 tahun atas hampir seluruh wilayah Persia. Sementara pemerintah Persia hanya menerima pembayaran awal sebesar £20.000 dan jatah 16% keuntungan. Kesepakatan ini nantinya memicu ketegangan nasionalisme di Iran, yang puncaknya terjadi ketika Mossadegh berani menasionalisasi industri minyak Iran tahun 1951.

Kini, situasi geopolitik di kawasan mengingatkan kembali pada masa-masa itu. Keputusan Inggris mengirimkan pesawat tempur ke kawasan Teluk di tengah ancaman serangan Israel ke Iran memunculkan spekulasi soal maksud sebenarnya London. Meski PM Inggris Sir Keir Starmer menegaskan tujuan pengerahan itu untuk meredam eskalasi, para analis menilai kehadiran militer Inggris di sekitar Iran lebih banyak berkaitan dengan kepentingan strategis lama, yakni minyak.

Beberapa laporan intelijen regional menyebutkan bahwa sejumlah perusahaan minyak Inggris diam-diam mulai memetakan peluang investasi baru di Iran jika situasi politik berubah drastis. Hal ini membuka kembali ingatan pada Anglo-Iranian Oil Company (AIOC), nama baru APOC, yang pernah berjaya hingga nasionalisasi minyak oleh Iran di awal 1950-an. Saat itu, Inggris bahkan sempat berencana melakukan invasi militer bersama AS dalam Operasi Ajax untuk menggulingkan Mossadegh.

Pengerahan pesawat tempur Inggris ke Teluk saat ini memperlihatkan pola diplomasi klasik London: menyerukan perdamaian sambil tetap menyiapkan opsi kekuatan. Hal serupa juga terjadi tahun lalu ketika Inggris diam-diam menempatkan armada udara di Timur Tengah di tengah ketegangan antara AS dan Iran. Walaupun alasan resmi selalu soal stabilitas kawasan, jejak historis keterlibatan Inggris dalam konflik minyak Iran membuat publik sulit percaya sepenuhnya.

Inggris tampaknya menyadari bahwa kawasan Teluk, terutama Iran, masih menjadi salah satu kunci energi dunia. Meski ladang minyak di negara-negara Teluk lain berkembang pesat, potensi Iran tetap strategis. Dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia, Iran menyimpan daya tawar besar dalam geopolitik energi global. Hal inilah yang membuat Inggris enggan benar-benar melepaskan pengaruhnya di kawasan itu.

Langkah Inggris ini juga sejalan dengan upaya beberapa negara Barat lainnya yang mulai kembali mengintip peluang pasca konflik Israel-Iran. Bila ketegangan mencapai titik krisis yang memungkinkan perubahan rezim atau negosiasi ulang politik dalam negeri Iran, perusahaan-perusahaan energi Barat diyakini sudah siap mengajukan konsesi baru, seperti di era D’Arcy seabad silam. Pengerahan militer menjadi instrumen tekanan sekaligus jaminan atas kepentingan ekonomi yang lebih luas.

Kondisi ini diperparah dengan sikap ambigu London yang di satu sisi mendukung inisiatif de-eskalasi, tapi di sisi lain terus menjalin koordinasi militer aktif dengan Washington dan Tel Aviv. Bahkan beberapa laporan media Inggris menyebut bahwa pesawat Typhoon yang dikirim ke Teluk dilengkapi sistem pengintai canggih yang berfungsi memetakan pergerakan armada udara dan pertahanan Iran di sepanjang Teluk Persia.

Situasi ini membuat pemerintah Iran kembali waspada terhadap gerak-gerik Inggris. Teheran telah lama menyimpan trauma sejarah atas campur tangan Inggris, baik dalam politik dalam negeri maupun kontrol atas sumber daya alamnya. Dalam beberapa pidato, pejabat Iran secara terang-terangan menyebut Inggris sebagai kekuatan kolonial yang selalu memanfaatkan situasi untuk kepentingan ekonomi mereka, meski dibungkus retorika diplomasi damai.

Sejumlah pengamat politik Timur Tengah menilai bahwa jika konflik Israel-Iran benar-benar pecah, Inggris bersama sekutunya akan memanfaatkan situasi itu untuk kembali menancapkan pengaruhnya di Iran. Termasuk kemungkinan menekan Teheran agar kembali membuka keran investasi migas asing, seperti di era Shah sebelum Revolusi 1979. Bukan tidak mungkin, skema konsesi minyak seperti yang pernah diterapkan APOC bisa kembali dinegosiasikan.

Di sisi lain, masyarakat Inggris sendiri mulai mempertanyakan urgensi keterlibatan militer negaranya dalam konflik di Teluk Persia. Beberapa anggota parlemen dari Partai Buruh dan Partai Liberal Demokrat telah menyuarakan keprihatinan soal risiko keterlibatan Inggris dalam perang terbuka yang tidak memiliki legitimasi domestik. Mereka menuntut penjelasan rinci soal misi militer di Teluk dan alasan sebenarnya di balik pengerahan pesawat tempur itu.

Situasi ini menempatkan Inggris dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka ingin tetap terlihat sebagai kekuatan diplomatik moderat yang menyerukan perdamaian. Namun di sisi lain, kepentingan strategis atas ladang minyak Iran yang telah lama menjadi bagian dari sejarah ekonomi Inggris, membuat mereka tidak bisa sepenuhnya bersikap netral. Pengerahan pesawat tempur ke Teluk menjadi sinyal bahwa di balik seruan damai, London tetap ingin menjaga posisi tawar dan pengaruh di kawasan. Sebelumnya, Iran telah menghalau kapal perang Inggris dari Teluk Persia yang diduga ikut mengarahkan serangan rudal Israel ke objek vital Iran secara presisi.

Dengan kondisi geopolitik kawasan yang terus memanas dan ancaman konflik terbuka makin nyata, ambisi lama Inggris untuk kembali menguasai ladang minyak Iran seolah menemukan panggungnya. Meski dibungkus retorika de-eskalasi, sejarah panjang keterlibatan Inggris di Iran menjadi cermin bahwa dalam politik energi global, tidak ada kepentingan yang benar-benar terlupakan.

Powered by Blogger.