Potensi Iran-Turkiye Bangun Poros Baru di Teluk
Di tengah tekanan masif Israel, Amerika Serikat, dan sekutu-sekutunya terhadap Iran, muncul peluang baru yang tak banyak diperhitungkan publik Barat. Iran dan Turkiye, dua kekuatan besar dunia Islam yang dulunya sering berseteru di masa Ottoman dan Safavid, kini mulai menunjukkan tanda-tanda saling mendekat. Situasi geopolitik kawasan yang kian panas mendorong Teheran dan Ankara mempertimbangkan skenario kerja sama strategis demi mengamankan kepentingan bersama di kawasan Teluk Persia.
Ketegangan memuncak saat mantan Presiden AS, Donald Trump, beberapa waktu lalu kembali menyerukan agar Iran menyerah kepada tuntutan Israel. Trump bahkan secara terang-terangan mengancam warga Teheran untuk segera mengungsi dari ibukota, memprediksi adanya kemungkinan serangan langsung. Pernyataan itu memantik kecemasan regional, di saat kekuatan Barat tengah berupaya menekan Iran melalui strategi containment dan ancaman perubahan rezim.
Di tengah situasi tersebut, Iran didorong untuk menggodok opsi mengajak Turkiye untuk memperkuat kehadiran militernya di kawasan Teluk Persia. Salah satu rencana yang beredar adalah kemungkinan Iran membuka pangkalan angkatan lautnya bagi kapal-kapal perang Turkiye, khususnya di dekat Selat Hormuz. Selat sempit itu menjadi jalur vital bagi 20 persen ekspor minyak dunia, dan setiap ketegangan di kawasan ini selalu berdampak langsung pada harga minyak global.
Jika skenario ini terjadi, maka Turkiye sebagai anggota NATO akan menjadi negara pertama dari aliansi Barat yang memiliki kehadiran militer resmi di Iran. Situasi ini mengingatkan kembali pada langkah Qatar saat krisis Teluk 2017, ketika Doha mengundang pasukan Turkiye ke wilayahnya demi menandingi tekanan geopolitik saat itu. Kehadiran militer Turkiye terbukti berhasil meredam ancaman invasi terhadap Qatar.
Keberadaan Turkiye di pangkalan angkatan laut Iran dapat menjadi kartu as baru yang mengubah peta kekuatan kawasan. Ankara bisa memosisikan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang antara blok Barat-Israel dan poros perlawanan Iran. Di sisi lain, kehadiran Turkiye akan menyulitkan langkah AS dan sekutunya yang selama ini mendorong isolasi total terhadap Teheran. Apalagi jika Turkiye secara aktif ikut mengamankan Selat Hormuz dari potensi sabotase atau konflik terbuka.
Sejarah hubungan Iran dan Turkiye sesama negara anggota Developing-8 Organization for Economic Cooperation (D-8), memang pernah diwarnai konflik panjang, khususnya di era Safavid dan Ottoman. Perebutan wilayah Kaukasus dan perbedaan mazhab Sunni-Syiah sempat memicu perang berabad-abad. Namun sejak abad ke-18, kedua negara mulai menemukan pola hubungan baru yang lebih pragmatis, dan puncaknya pada perjanjian damai Erzurum 1847. Kini, situasi geopolitik modern mendorong dua kekuatan ini kembali mendekat, bukan karena kesamaan ideologi, tapi kepentingan geopolitik bersama.
Jika kerja sama ini berjalan, kehadiran militer Turkiye di Iran bisa menjadi faktor penentu yang membatasi manuver Israel dan AS di kawasan. Langkah tersebut berpotensi mencegah terjadinya perang terbuka, sebab menyerang Iran berarti juga berisiko bersinggungan dengan pasukan Turkiye, anggota resmi NATO. Meskipun hubungan Turkiye dengan NATO sering tegang, Ankara tetap memiliki posisi strategis dalam aliansi tersebut.
AS dan sekutunya tentu akan sulit mengambil langkah drastis jika Turkiye hadir di Iran. Selain faktor status keanggotaan NATO, keberadaan Turkiye akan memperumit operasi militer Barat di kawasan. Pihak Pentagon dan Whitehall dipastikan akan mempertimbangkan ulang semua opsi jika Ankara aktif mengamankan Selat Hormuz bersama Teheran. Hal ini bisa menjadi penghambat efektif bagi strategi regime change yang telah lama diupayakan Washington di Iran.
Di sisi lain, Turkiye juga mendapat keuntungan geopolitik dari kerja sama ini. Dengan kehadiran pangkalan di Iran, Ankara dapat memperluas pengaruhnya ke kawasan Teluk Persia, yang selama ini didominasi AS dkk. Turkiye bisa mengimbangi kekuatan di kawasan, sekaligus meningkatkan daya tawarnya dalam isu Palestina yang kembali memanas akibat agresi Israel ke Gaza dan ancaman ke Teheran.
Langkah Iran mendekati Turkiye juga merupakan strategi cerdas untuk memecah konsolidasi kekuatan Barat di kawasan. Iran menyadari, dibandingkan berkonfrontasi langsung dengan koalisi Barat-Israel, lebih efektif membangun poros alternatif bersama Turkiye, yang selama ini memiliki relasi unik dengan Washington. Meski anggota NATO, Turkiye di bawah Erdogan kerap berselisih dengan AS dan Eropa, termasuk soal Suriah, pembelian rudal S-400 dari Rusia, pembatalan pembelian F-35 dan konflik Palestina.
Jika pangkalan angkatan laut Turkiye benar-benar hadir di Iran, skenario yang sama seperti di Qatar bisa terulang. Saat itu, kehadiran Turkiye di Doha berhasil membendung rencana intervensi militer koalisi Arab. Kini, di Teluk Persia, keberadaan Turkiye bisa menjadi faktor penentu yang memaksa AS, Israel, dan sekutunya berpikir ulang sebelum melakukan tindakan militer terhadap Iran.
Analis geopolitik menilai, kerja sama Iran-Turkiye di Teluk akan menjadi pukulan telak bagi strategi containment yang selama ini dijalankan AS. Washington selama ini mengandalkan kekuatan blok Teluk dan NATO untuk menekan Iran dari berbagai sisi. Jika salah satu anggota NATO justru hadir di Iran, kekompakan aliansi tersebut bisa retak, setidaknya dalam konteks operasi militer di kawasan.
Bagi Israel, kehadiran militer Turkiye di Iran akan menjadi ancaman tersendiri, setelah sebelumnya Pakistan secara tebuka mendukung Iran dalam mempertahankan diri. Meski hubungan Turkiye-Israel sempat membaik, ketegangan soal Palestina dan Gaza terus menjadi batu sandungan. Kehadiran pasukan Turkiye di pangkalan Iran dapat menghalangi operasi udara Israel ke wilayah Iran, sekaligus mempersulit pengintaian dan sabotase yang selama ini kerap dilakukan Mossad.
Secara historis, hubungan Iran-Turkiye memang penuh dinamika, dari perang terbuka hingga damai pragmatis. Namun situasi hari ini berbeda. Ancaman bersama dari Israel dan tekanan Barat justru menjadi perekat baru di antara dua kekuatan ini. Turkiye sendiri diuntungkan secara geopolitik, sementara Iran mendapat jaminan keamanan strategis di wilayah yang paling vital bagi ekonominya.
Jika aliansi ini terbentuk, maka Teluk Persia akan mengalami perubahan peta kekuatan signifikan. Selain mengamankan jalur energi global, kehadiran Turkiye juga dapat memperkuat posisi negosiasi Iran dalam setiap perundingan internasional. Hal ini sekaligus bisa menjadi jalan bagi Iran untuk memecah isolasi internasional yang terus diperketat AS dan sekutunya.
Dalam perspektif kawasan, poros Iran-Turkiye bisa menjadi model kerja sama baru di dunia Islam. Setelah sekian lama dipisahkan oleh sekat politik dan sejarah, dua kekuatan ini kini memiliki peluang besar untuk membentuk front bersama menghadapi dominasi kekuatan asing di kawasan. Sebuah babak baru di Timur Tengah tampaknya mulai terbuka, dan dunia sebaiknya mulai memperhatikannya.
Post a Comment