Iran Terancam Masuk Perangkap Geopolitik Lama yang Menimpa Irak dan Libya
Situasi geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah sejumlah pengamat internasional memperingatkan bahwa Iran berpotensi masuk ke dalam pola perangkap yang pernah menjerat Irak, Libya, dan Sudan. Negara-negara tersebut dalam sejarah modern menjadi contoh bagaimana tekanan diplomatik, sanksi ekonomi, dan intervensi militer digunakan untuk meruntuhkan rezim yang dianggap berseberangan dengan kepentingan Barat dan sekutunya di kawasan. Iran kini dinilai menghadapi ancaman serupa meskipun terus menegaskan bahwa program nuklirnya bertujuan damai.
Irak menjadi contoh nyata betapa narasi senjata pemusnah massal bisa digunakan sebagai pembenaran untuk agresi militer. Meski pemerintahan Saddam Hussein saat itu sudah beberapa kali menyatakan tidak memiliki senjata nuklir maupun program aktif, tuduhan terus digulirkan oleh Amerika Serikat dan Inggris. Pada akhirnya, invasi tahun 2003 tetap dilakukan, Irak dihancurkan, dan stabilitas kawasan terguncang hingga hari ini.
Di Libya, cerita tak jauh berbeda. Muammar Khadafi yang sempat membuka diri dan menyerahkan program senjata pemusnah massalnya ke PBB, tetap tak lepas dari operasi adu domba internal dan intervensi militer NATO. Khadafi yang semula dipercaya bisa beradaptasi dengan tatanan global, justru menjadi korban konspirasi regional dan internasional yang ingin merebut kendali atas sumber daya Libya yang melimpah.
Kini, Iran berada di persimpangan jalan serupa. Meskipun telah menandatangani Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir Iran 2015, dan beberapa kali membuka akses pengawasan terhadap fasilitas nuklirnya, tekanan dari negara-negara Barat terus meningkat. Situasi semakin pelik karena ketegangan dengan Israel yang makin terbuka, baik melalui perang bayangan di Suriah maupun serangan siber dan sabotase ke fasilitas nuklir Iran.
Dalam beberapa kesempatan, Iran secara tegas menyatakan tidak memiliki keinginan membangun senjata nuklir, merujuk pada fatwa yang dikeluarkan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Namun, fakta bahwa tekanan politik dan sanksi ekonomi tak kunjung dicabut, menandakan ada skenario geopolitik yang lebih besar. Beberapa analis bahkan menyebut Iran akan tetap dijadikan musuh, apapun sikap politiknya, selama tidak tunduk pada agenda regional Barat.
Sudan bisa menjadi pelajaran lain bagi Iran. Negara itu akhirnya menormalisasi hubungan dengan Israel di bawah tekanan ekonomi dan politik, namun tetap saja mengalami ketidakstabilan internal. Bahkan elite Sudan diadu domba lewat milisi bersenjata yang didanai dari berbagai kekuatan eksternal. Iran bisa menghadapi skenario serupa jika membuka pintu negosiasi tanpa jaminan keamanan teritorial dan kedaulatan politiknya.
Kekhawatiran ini diperkuat dengan adanya indikasi bahwa beberapa negara Teluk, yang selama ini menjadi sekutu AS dan Israel, mulai mendorong isolasi politik terhadap Iran di berbagai forum internasional. Ditambah lagi, surplus senjata dari konflik Ukraina-Rusia menjadi alasan lain bagi industri militer Barat untuk mencari pasar baru dan kawasan konflik berikutnya.
Belajar dari Irak dan Libya, Iran memahami bahwa pengakuan tidak memiliki program senjata nuklir sekalipun tidak cukup untuk menjamin keselamatan sebuah rezim. Bahkan, pembukaan akses terhadap inspektur internasional pun kerap diiringi propaganda media yang terus menggiring opini soal ancaman Iran. Di sisi lain, adu domba kelompok dalam negeri, baik berbasis sektarian maupun etnis, mulai digencarkan lewat operasi intelijen asing.
Dalam konteks ini, Iran menghadapi dilema besar. Di satu sisi, tetap mempertahankan kedaulatan dengan risiko diserang seperti Irak. Di sisi lain, mengikuti jalan Sudan dengan normalisasi hubungan dan tetap dibayangi destabilitas internal. Terlebih, dengan posisi geografis Iran yang strategis, memiliki cadangan energi melimpah, dan pengaruh regional di Irak, Suriah, Lebanon, hingga Yaman, negara ini menjadi target yang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan.
Beberapa sumber diplomatik menyebut bahwa upaya negosiasi nuklir yang belakangan kembali dibuka hanyalah bagian dari strategi 'cipta kondisi'. Iran diminta bersikap moderat, namun di saat bersamaan digempur serangan siber dan operasi militer tak langsung. Langkah ini mirip dengan skenario di Libya, di mana pembukaan diri justru diikuti destabilisasi berkepanjangan.
Perangkap lain yang bisa menjerat Iran adalah kampanye 'hak asasi manusia' yang kerap digunakan untuk melemahkan legitimasi pemerintah. Isu-isu tentang perempuan, minoritas, dan demonstrasi mahasiswa di Iran selalu mendapat sorotan berlebihan di media Barat. Langkah ini bertujuan membangun opini publik global agar mendukung isolasi atau bahkan serangan militer bila diperlukan.
Iran saat ini berupaya memperkuat aliansi dengan Rusia, Tiongkok, dan sejumlah negara Asia Tengah sebagai perisai dari tekanan geopolitik Barat. Namun, sejarah mencatat, Irak dan Libya juga sempat melakukan langkah serupa sebelum akhirnya ditinggalkan saat invasi dimulai. Hal ini menambah kekhawatiran bahwa skenario lama sedang diulang dengan target yang berbeda.
Kondisi domestik Iran pun tidak sepenuhnya aman dari potensi konflik internal. Beberapa kelompok oposisi di pengasingan dan minoritas etnis di wilayah perbatasan kerap dijadikan alat oleh kekuatan asing untuk menciptakan ketegangan. Apabila Iran tidak hati-hati, faktor ini bisa menjadi celah paling efektif untuk melemahkan stabilitas negara dari dalam.
Dari sudut pandang geopolitik, Iran sesungguhnya berada dalam posisi genting. Keberhasilan Irak dan Libya dihancurkan menjadi preseden yang bisa saja diterapkan ke Teheran. Apalagi, ketegangan kawasan pasca konflik Gaza-Israel 2024 makin menyudutkan Iran sebagai aktor regional yang dianggap berbahaya.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah langkah politik dan diplomatik dilakukan Iran untuk meredam ketegangan. Namun, media Barat dan Israel terus menggaungkan ancaman nuklir meskipun tidak ada bukti baru. Situasi ini mengingatkan bagaimana isu senjata pemusnah massal di Irak dulu dijadikan dalih invasi.
Apabila Iran tidak mampu membangun perisai politik yang kuat di tingkat internasional, nasibnya bisa jadi tidak jauh berbeda dari Irak dan Libya. Bahkan jika kemudian memilih normalisasi hubungan dengan Israel, bukan jaminan negara ini akan aman dari intervensi. Sudan yang sudah lebih dulu mengambil langkah itu pun tetap diguncang konflik internal yang disokong dari luar.
Tantangan terbesar bagi Iran bukan hanya tekanan eksternal, tapi bagaimana mencegah fragmentasi internal yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan asing. Sejarah membuktikan, banyak negara di Timur Tengah runtuh bukan karena kekuatan musuh, tapi karena rapuhnya solidaritas di dalam negeri.
Di tengah ancaman ini, Iran harus belajar dari sejarah kelam tetangganya dan menghindari perangkap yang sama. Jika tidak, krisis geopolitik di Timur Tengah bisa kembali meledak dengan skala yang jauh lebih besar, dan Iran bisa jadi korban berikutnya dalam daftar panjang kehancuran politik regional. Atau apakah situasi akan berubah jika tiba-tiba Iran uji coba senjata nuklir sebagaimana Korea Utara?
Post a Comment