Header Ads

Jika Iran Terus Digempur, Apakah Teheran akan Uji Nuklir untuk Deterensi?



Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah mencapai titik rawan baru dalam beberapa bulan terakhir. Iran yang selama ini terus ditekan melalui sanksi ekonomi, serangan siber, pemboman oleh Israel dan operasi militer tidak langsung, mulai menunjukkan sinyal ketidaksabaran.

Desakan internal di tubuh militer dan Garda Revolusi Iran kabarnya makin kuat agar pemerintah segera melakukan uji coba nuklir sebagai bentuk peringatan keras bagi Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya.

Situasi ini memunculkan spekulasi besar di kalangan analis politik global. Apa yang akan terjadi jika Iran benar-benar memutuskan melakukan uji coba nuklir pertamanya? Apakah serangan Israel yang dibantu Amerika Serikat, Inggris, Perancis dll akan langsung melancarkan serangan besar-besaran, atau justru mundur seperti sikap mereka terhadap Korea Utara yang kini tak lagi disentuh secara militer setelah memiliki senjata nuklir operasional?

Sejauh ini, Iran masih bertahan pada posisi bahwa program nuklirnya murni untuk kepentingan damai. Namun tekanan beruntun dan serangan bertubi-tubi dari Israel dengan dukungan AS dkk dalam berbagai bentuk membuat faksi militer di Iran mulai kehilangan kesabaran.

Beberapa laporan intelijen menyebutkan bahwa militer Iran sudah sejak lama mampu memproduksi senjata nuklir, namun ditahan karena pertimbangan politik dan risiko geopolitik yang terlalu besar.

Perbandingan paling sering muncul adalah dengan Korea Utara. Negara itu pernah mengalami tekanan serupa bahkan lebih parah dari Iran. Namun setelah melakukan beberapa kali uji coba senjata nuklir dan rudal jarak jauh, Korea Utara justru berhasil membuat Amerika Serikat dan sekutunya mundur dari opsi serangan militer langsung. Situasi ini menimbulkan pertanyaan apakah pola yang sama bisa berlaku jika Iran melangkah ke arah yang sama.

Jika Iran benar-benar melakukan uji coba nuklir, bisa dipastikan dunia akan geger. Dewan Keamanan PBB diprediksi akan segera menggelar sidang darurat, sementara Amerika Serikat dan Israel kemungkinan besar akan melancarkan ancaman balasan. Namun di balik itu, ada kemungkinan besar skenario kompromi terjadi, seperti yang dialami Korea Utara. Barat mungkin akan mengubah pendekatannya dari konfrontasi menjadi isolasi politik dan ekonomi jangka panjang.

Hal ini disebabkan karena risiko menyerang negara bersenjata nuklir jauh lebih besar dibanding menyerang negara tanpa kekuatan deterensi tersebut. Korea Utara menjadi contoh nyata bagaimana senjata nuklir bisa menjadi perisai ampuh dari intervensi militer. Meski dihujani sanksi dan propaganda, tidak ada kekuatan besar yang berani melancarkan invasi langsung ke Pyongyang.

Iran bisa saja berharap pada skenario itu. Dengan memiliki senjata nuklir, ancaman serangan langsung bisa ditekan. AS, Israel, dan sekutunya di kawasan mungkin akan memilih jalur diplomasi ketimbang menggelar operasi militer terbuka yang bisa memicu perang regional besar-besaran, mengingat posisi Iran yang strategis dan kekuatan militernya yang tidak bisa diremehkan.

Namun tentu saja, langkah itu juga memiliki risiko besar. Barat bisa saja menambah isolasi ekonomi dan politik terhadap Iran. Beberapa negara Eropa yang selama ini menjaga jarak aman dalam ketegangan Iran-AS-Israel mungkin akan dipaksa mengambil sikap tegas untuk inkut mengeroyok Iran sebagaimana koalisi besar menginvasi Irak dan menyebabkan jutaan korban.

Situasi di kawasan Teluk pun akan semakin memanas dengan kemungkinan perlombaan senjata nuklir di negara-negara tetangga.

Di dalam negeri Iran, keputusan uji coba nuklir bisa memicu solidaritas nasional, tapi juga rentan memunculkan kecaman dari kelompok oposisi yang khawatir Iran akan mengalami nasib seperti Korea Utara yang terisolasi total. Namun di sisi lain, kalangan militer meyakini itu satu-satunya cara agar Iran dihormati dan tak lagi dijadikan sasaran operasi militer.

Amerika Serikat tentu tidak akan mudah menerima status Iran sebagai negara bersenjata nuklir. Selama ini, Washington bersikeras hanya Israel yang boleh memiliki kekuatan itu di kawasan Timur Tengah. Namun bila Iran sudah benar-benar membuktikan memiliki dan mampu melakukan uji coba senjata nuklir, opsi yang tersedia bagi AS akan sangat terbatas.

Agresi militer terbuka akan dipertimbangkan ulang karena risiko serangan balasan nuklir ke pangkalan-pangkalan AS di Timur Tengah maupun ke sekutunya seperti Israel dan Arab Saudi. Skema tekanan ekonomi dan propaganda politik mungkin tetap dilanjutkan, namun pola agresif yang selama ini dilakukan kemungkinan besar akan dikurangi.

Israel menjadi pihak yang paling gelisah dalam skenario ini. Selama ini mereka yakin hanya mereka satu-satunya negara pemilik senjata nuklir di Timur Tengah. Jika Iran menyusul, keseimbangan kekuatan di kawasan akan berubah drastis. Israel akan kehilangan posisi dominannya, dan operasi militer rahasia atau serangan terbuka ke Suriah, Lebanon, atau Gaza pun bisa memicu respons nuklir.

Di sisi lain, Iran bisa menggunakan senjata nuklir sebagai kartu tawar dalam negosiasi geopolitik. Seperti Korea Utara yang kerap menggunakan ancaman uji coba rudal atau nuklir untuk memaksa perundingan dengan AS, Iran mungkin akan melakukan hal yang sama untuk menuntut pencabutan sanksi dan pengakuan terhadap haknya sebagai negara berdaulat.

Tentu saja, tidak semua negara akan serta-merta memutus hubungan dengan Iran pasca uji coba nuklir. Beberapa sekutu strategis seperti Rusia, Tiongkok, dan negara-negara Asia Tengah bisa saja tetap menjalin kerja sama. Bahkan, beberapa negara yang selama ini bergantung pada pasokan energi dari Iran mungkin memilih bersikap netral.

Dampak lain yang tak bisa dihindari adalah perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah. Arab Saudi sudah beberapa kali mengancam akan mengembangkan teknologi nuklir jika Iran memilikinya. Hal ini bisa memicu krisis regional berkepanjangan, dengan risiko penyebaran teknologi nuklir ke kelompok-kelompok milisi non-negara.

Namun jika merujuk pada pola global selama ini, negara yang berhasil memiliki senjata nuklir umumnya sulit diserang secara langsung. Pakistan, India, dan Korea Utara bisa bertahan meski sering berkonflik karena kekuatan deterensi nuklir yang mereka miliki. Iran bisa jadi berharap hasil serupa, yakni dihormati dan dipaksa duduk di meja perundingan.

Yang jelas, pilihan Iran untuk melakukan uji coba nuklir akan mengubah total peta geopolitik Timur Tengah. AS, Israel, dan sekutunya mungkin tetap melakukan berbagai manuver, namun opsi serangan militer besar kemungkinan akan dikaji ulang. Iran pun bisa saja mendapatkan status 'negara nuklir de facto' seperti Korea Utara, meski tanpa pengakuan resmi.

Pertanyaan utamanya adalah apakah Iran siap menanggung semua konsekuensi dari langkah itu. Keuntungan strategis berupa deterrence mungkin didapatkan, tapi isolasi politik, sanksi ekonomi ekstrem, dan risiko perlombaan senjata regional akan jadi harga yang harus dibayar. Sejarah menunjukkan, setiap negara yang memasuki klub nuklir harus bersiap menghadapi dua hal: kehormatan dan kesendirian.

Dibuat oleh AI

Powered by Blogger.