Tel Aviv Peringatkan Iran untuk Segera Tunduk dan Tidak Melawan Kemauan Israel
Ketegangan di kawasan Timur Tengah kembali memanas setelah Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, melontarkan peringatan keras kepada Iran. Dalam pernyataannya, Katz mengancam Iran agar tidak berani melakukan pembalasan atas serangan-serangan yang telah dilancarkan Israel ke wilayah Iran dalam beberapa waktu terakhir. Serangan tersebut, yang menargetkan fasilitas sejumlah kawasan di Iran telah menewaskan lebih dari 200 warga, mayoritas sipil.
Pernyataan Israel Katz sontak memicu kecaman dari berbagai pihak internasional. Pasalnya, pernyataan itu terkesan sebagai bentuk arogansi militer Israel yang merasa bisa menyerang negara mana pun tanpa khawatir dibalas. Katz bahkan menuduh Iran melakukan kejahatan perang karena berani menembakkan rudal balasan, sementara Tel Aviv mengklaim setiap serangannya ke warga Iran sebagai tindakan defensif dan sudah diijinkan AS dkk
Sejak agresi brutal Israel di Gaza yang menewaskan lebih dari 35 ribu warga sipil Palestina, Israel memang mendapat perlindungan penuh dari Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa sekutunya di Barat.
Bahkan ketika Mahkamah Pidana Internasional (ICC) berupaya menyelidiki kejahatan perang Israel, AS langsung mengancam sanksi terhadap para pejabat pengadilan tersebut. Dunia pun menyaksikan bagaimana hukum internasional bisa dilumpuhkan oleh kekuatan geopolitik.
Kini, Israel melalui Israel Katz kembali memainkan standar ganda. Negara itu ingin memastikan hanya Israel yang legitimate melakukan serangan ke negara mana pun di dunia, termasuk ke wilayah kedaulatan Iran, tanpa boleh mendapat perlawanan.
Jika korban seperti Iran berani membalas, maka segera akan dicap melakukan kejahatan perang dan berpotensi diajukan ke mahkamah internasional, sementara Israel tetap diposisikan sebagai pihak yang selalu benar khususnya setelah sukses melakukan serangkaian genosida di Gaza dengan dukungan AS dkk dan lemahnya sistem di PBB.
Sejumlah pengamat menilai, sikap Israel ini adalah simbol paling terang dari arogansi kekuasaan militer dan dominasi geopolitik. Dunia internasional, terutama negara-negara Global South, mulai mempertanyakan apakah hukum internasional kini hanya berlaku untuk negara-negara lemah, sementara kekuatan besar bisa membantai manusia sesuka hati tanpa konsekuensi hukum.
Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah Israel memang ingin menyatakan bahwa bila Iran tak rela dan tak ikhlas dibantai, tak ingin warganya dibom dan infrastrukturnya dihancurkan maka itu termasuk kategori kejahatan perang?
Apakah jika Iran membalas pembantaian terhadap rakyatnya, Ayatollah Khamenei harus bertanggung jawab di Mahkamah Pidana Internasional, sementara pengadilan itu sendiri telah dikuasai sepenuhnya oleh AS dan sekutunya? apakah Iran akan dicap negara intoleran karena memprotes genosida terhadap warga Gaza?
Fakta di lapangan menunjukkan, AS di bawah pemerintahan Trump sempat menjatuhkan sanksi kepada sejumlah pejabat ICC yang berani menyelidiki kejahatan Israel dan operasi militer AS di Afghanistan. Langkah itu diteruskan secara halus di era Biden, membuat ICC lumpuh dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan Israel. Situasi ini memperlihatkan bagaimana pengadilan internasional telah menjadi alat politik global.
Peringatan Israel Katz itu pun dinilai sebagai ancaman yang membalikkan logika hukum. Dalam perspektif militer Israel, semua serangan mereka adalah bela diri, sementara segala bentuk balasan dari pihak yang diserang adalah bentuk agresi. Iran, dalam hal ini, diminta untuk menerima begitu saja kematian ratusan warganya akibat serangan drone dan rudal Israel tanpa hak untuk membalas.
Aktivis HAM di berbagai belahan dunia menyebut ini sebagai bentuk kejahatan moral dan standar ganda yang paling ekstrem. Jika dunia membiarkan narasi ini terus berlangsung, bukan mustahil negara-negara kuat lain akan mengikuti jejak Israel, menyerang negara manapun lalu menuntut korban untuk diam demi menghindari cap kejahatan perang.
Dalam konteks geopolitik kawasan, ancaman dan serangan Israel juga dinilai sebagai taktik cipta kondisi. Beberapa analis menyebut Israel justru berharap Iran terpancing membalas secara terbuka, sehingga Tel Aviv memiliki alasan melancarkan serangan besar-besaran ke fasilitas nuklir dan militer Iran, sekaligus menyeret AS dan sekutunya ke dalam konflik terbuka.
Namun berbeda dengan Suriah atau Irak dulu, Iran memiliki jaringan milisi dan aliansi yang kuat di kawasan. Dari Lebanon, Suriah, Irak, hingga Yaman, kelompok-kelompok bersenjata sekutu Iran siap membantu dan mengulurkan tangan jika terjadi perang besar. Hal ini yang membuat ancaman Israel bukan hanya berbahaya, tapi juga berisiko memicu perang regional yang bisa mengguncang jalur perdagangan minyak dunia.
Israel Katz, dengan retorika ancamannya, sedang memainkan peran penting dalam upaya mendikte jalannya geopolitik Timur Tengah. Namun langkah itu bisa menjadi bumerang. Sebab Iran bukan negara kecil yang bisa dibungkam, apalagi setelah terbukti bahwa serangan Israel telah menewaskan ratusan warga sipil, sesuatu yang bahkan diam-diam mulai dikritik di Eropa.
Lebih jauh, retorika Israel Katz bisa merusak legitimasi Israel di mata dunia. Alih-alih membuat Iran terpojok, pernyataan tersebut justru memperkuat narasi bahwa Israel adalah negara agresor yang berlindung di balik kekuasaan geopolitik Amerika. Dunia mulai menyaksikan dengan gamblang bagaimana hukum internasional bisa diabaikan jika pelakunya adalah sekutu Barat.
Negara-negara di Global South kini dihadapkan pada pilihan berat: berdiam diri atau mulai membangun blok penyeimbang. Beberapa organisasi regional mulai menyerukan sidang darurat, sementara sejumlah negara Asia dan Afrika menyatakan keprihatinan atas standar ganda Israel dan AS dalam konflik ini.
Di dalam negeri Iran, pernyataan Israel Katz justru menyulut kemarahan rakyat. Ribuan orang turun ke jalan, menuntut pemerintah membalas setiap serangan Israel. Garda Revolusi Iran pun dilaporkan telah bersiap meningkatkan pertahanan udara dan memperkuat posisi militer di kawasan perbatasan.
Kini, dunia berada di persimpangan berbahaya. Jika standar ganda seperti ini terus diterima, maka hukum internasional akan kehilangan makna. Dan bila perang terbuka meletus, dampaknya akan jauh melampaui Timur Tengah. Pernyataan Israel Katz bukan sekadar ancaman biasa, tapi pesan terbuka tentang siapa yang berhak menyerang dan siapa yang wajib dibantai. Sejarah akan mencatat, siapa yang bersuara dan siapa yang memilih bungkam.
Dibuat oleh AI
Post a Comment