Header Ads

Strategi Containment, Skenario Jadikan Iran sebagai Proyek Suriah Baru Mulai Terbaca

Ketegangan di Timur Tengah kian mengkhawatirkan setelah sejumlah analis militer dan politik mulai membaca skenario baru yang tengah disusun Israel, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan sekutu mereka terhadap Iran. Skenario itu disebut-sebut mirip dengan strategi containment yang diterapkan di Suriah selama satu dekade terakhir, yang menyebabkan jutaan warga sipil tewas, jutaan lainnya menjadi pengungsi, serta negara itu hancur tanpa kepastian masa depan.

Strategi containment, dalam istilah geopolitik, adalah metode menahan dan membatasi pengaruh sebuah negara lawan dengan menciptakan kantong-kantong konflik internal, sabotase, pemberontakan bersenjata, blokade ekonomi, dan pengucilan diplomatik.

Tujuan akhirnya adalah membuat pemerintahan sah di negara target lumpuh dari dalam, lalu menciptakan kekuasaan tandingan yang didukung asing sebagai “pemerintahan sah versi Barat”. Metode ini pernah sukses di Irak dan Suriah, meskipun dengan ongkos kemanusiaan yang amat tragis.

Di Suriah, strategi ini dilakukan dengan membiayai dan mempersenjatai kelompok-kelompok oposisi, lalu membanjiri wilayah perbatasan dengan agen-agen asing. Serangan militer terbatas dilakukan untuk memperlemah pertahanan nasional, sementara propaganda media internasional membangun opini bahwa pemerintahan Bashar al-Assad adalah diktator pembantai rakyatnya. Saat situasi kacau, AS dan sekutunya langsung mendukung para pemimpin boneka di wilayah-wilayah tertentu yang berhasil mereka kuasai.

Kini pola serupa tampaknya mulai diterapkan terhadap Iran. Sejak beberapa bulan terakhir, berbagai pemberontakan kecil terjadi di beberapa wilayah perbatasan Iran, terutama di provinsi Khuzestan, Kurdistan, dan Baluchistan. Kelompok-kelompok separatis yang dulunya terkubur kini kembali aktif, diduga menerima dukungan logistik dari luar negeri. Israel bahkan secara terbuka mengklaim bahwa mereka telah melakukan puluhan operasi rahasia di dalam wilayah Iran.

Sejumlah think tank AS terang-terangan menyerukan agar strategi containment diterapkan di Iran. Beberapa laporan menyebutkan skenario akan dimulai dengan operasi sabotase intensif, pembunuhan figur-figur penting di dalam negeri, serta penggiringan opini internasional untuk mengisolasi Iran dari panggung diplomatik global. Jika kekacauan berhasil diperluas, maka akan diciptakan pemerintahan tandingan yang dipimpin oleh Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Iran yang sejak lama tinggal di AS.

Reza Pahlavi memang dikenal memiliki ambisi besar untuk kembali berkuasa di Iran. Dalam berbagai wawancaranya di media Barat, Pahlavi menyerukan kepada AS dan sekutu Eropa untuk lebih keras terhadap Iran, bahkan tak segan menyatakan diri siap memimpin bila rezim Ayatollah Khamenei tumbang. Skenario itu mirip dengan pola di Irak saat AS mendudukkan pemerintahan boneka pasca-Saddam Hussein, dan di Afghanistan saat Taliban pertama kali digulingkan.

Jika AS dan sekutu Barat benar-benar mengakui Reza Pahlavi sebagai pemimpin sah Iran, situasi bakal berubah menjadi tragedi kemanusiaan besar. Seperti di Suriah, kekuatan rakyat loyalis pemerintah pasti akan melawan, dan konflik bersenjata akan pecah di seluruh penjuru negeri. Perang saudara yang berlarut-larut pun akan tak terhindarkan, dengan jutaan warga sipil menjadi korban tanpa ada jaminan kapan perdamaian akan tercipta.

PBB yang selama ini kerap bungkam saat konflik buatan seperti ini meletus, kemungkinan besar akan kembali “mencuci tangan”. Badan dunia itu sejak lama dinilai hanya berani bersikap tegas pada negara-negara kecil, sementara selalu kompromi terhadap kepentingan negara-negara besar. Di Suriah, PBB gagal menghentikan perang saudara meski jutaan orang telah terbunuh. Hal serupa bisa terulang di Iran, apalagi jika Israel dan AS mendapat lampu hijau dari sekutu-sekutunya.

Konflik di Iran juga akan jauh lebih berbahaya ketimbang Suriah. Negara ini memiliki populasi lebih dari 80 juta jiwa dan kekuatan militer jauh di atas Suriah sebelum perang. Iran juga memiliki sekutu kuat seperti Hizbullah di Lebanon, milisi Hashd al-Shaabi di Irak, Houthi di Yaman, hingga kelompok pejuang di Suriah yang siap bertempur habis-habisan. Jika perang saudara pecah, kawasan Timur Tengah bisa berubah menjadi medan perang terbesar sejak Perang Dunia II.

Bukan hanya itu, jalur minyak di Selat Hormuz yang selama ini menjadi urat nadi perekonomian dunia akan terancam. Lebih dari 20 persen kebutuhan minyak dunia melewati jalur ini setiap hari. Jika kawasan itu menjadi ajang perang terbuka, harga minyak global bisa melonjak drastis, memicu krisis energi dan ekonomi di banyak negara.

Sejumlah diplomat senior di kawasan telah memperingatkan potensi skenario ini. Mereka menyebut bahwa proyek destabilisasi Iran sudah mulai berjalan secara sistematis. Mulai dari operasi militer rahasia, provokasi di media sosial, embargo ekonomi, hingga kampanye delegitimasi di forum-forum internasional. Iran memang menjadi target ideal karena posisinya yang strategis dan perannya sebagai batu sandungan utama proyek hegemoni AS dan Israel di Timur Tengah.

Jika strategi containment berhasil diterapkan, maka Iran akan terpecah-pecah menjadi kantong-kantong kekuasaan kecil seperti di Suriah. Beberapa wilayah akan dikuasai kelompok separatis, sebagian lagi dipimpin tokoh-tokoh pro-Barat, sementara Teheran akan dijadikan ajang pertempuran berkepanjangan. Semua itu tentu dengan pengorbanan rakyat sipil sebagai korban utamanya.

Yang paling tragis, skenario ini akan berjalan di bawah bendera “demokrasi” dan “kebebasan”. Seperti halnya di Suriah, Irak, dan Libya, intervensi asing selalu diklaim demi melindungi rakyat dari diktator. Padahal, di balik itu ada kepentingan geopolitik dan ekonomi raksasa yang selama ini dijaga ketat oleh kekuatan Barat. Reza Pahlavi pun dipersiapkan menjadi wajah baru yang bisa dikendalikan dari luar.

Kini, yang bisa mencegah skenario ini hanyalah solidaritas internasional dan kekompakan negara-negara Global South. Jika dunia kembali diam, maka Iran akan menyusul nasib Suriah, Irak, dan Libya. Korban kemanusiaan yang jatuh tak akan dihitung sebagai tragedi, melainkan sekadar “biaya operasi” demi proyek geopolitik yang lebih besar. Dunia harus memilih: membiarkan sejarah kelam itu terulang, atau menghentikannya sebelum terlambat.

Dibuat oleh AI
Powered by Blogger.