Header Ads

Mimpi Kosong Jadikan Reza Pahlavi Pemimpin Iran


Wacana menggulingkan pemerintahan Iran dan menggantikannya dengan Reza Pahlavi kembali mencuat di media-media Barat dan kalangan oposisi diaspora. Beberapa analis di Washington dan Tel Aviv menyebut Reza Pahlavi sebagai figur ideal untuk memimpin Iran pasca-rezim Ayatollah Khamenei, jika skenario regime change berhasil dijalankan. Namun kenyataannya, rencana semacam itu 90 persen hanyalah mimpi kosong yang lebih banyak membawa bencana ketimbang solusi.

Sejarah membuktikan, setiap upaya penggulingan rezim di Timur Tengah dengan dalih demokrasi justru selalu berujung malapetaka. Irak, Libya, Suriah, hingga Sudan menjadi bukti betapa intervensi asing tidak pernah benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebaliknya, jutaan nyawa melayang, negara hancur, dan generasi muda menjadi korban dari konflik yang tak kunjung selesai. Iran, jika skenario ini dipaksakan, kemungkinan besar akan mengalami nasib serupa.

Salah satu bahaya terbesar dari regime change yang melibatkan campur tangan asing adalah konflik horizontal yang tak berkesudahan. Iran memiliki keragaman etnis dan mazhab yang sangat kompleks. Ada komunitas Persia, Azeri, Kurdi, Baluchi, Arab, Lor, dan lainnya. Jika perang saudara pecah, potensi konflik antar etnis dan sektarian bisa jauh lebih buruk daripada di Suriah atau Irak. Luka sosial akibat perang saudara semacam itu akan membekas dan sulit disembuhkan dalam waktu dekat.

Selain itu, intervensi asing hampir selalu diiringi dengan penguasaan sumber daya alam strategis. Ladang minyak Iran, yang merupakan salah satu terbesar di dunia, tentu akan menjadi rebutan utama. Jika pasukan asing terlibat, perusahaan-perusahaan minyak multinasional dari AS, Inggris, dan sekutunya kemungkinan besar akan memegang kendali atas ladang-ladang minyak tersebut selama bertahun-tahun. Hal ini pernah terjadi di Irak, di mana selama lebih dari satu dekade minyak dieksploitasi sementara rakyat tetap hidup dalam kemiskinan.

Meskipun Irak kini perlahan mendapatkan kembali kendali atas sumber dayanya, sejumlah kontrak dan peraturan warisan masa pendudukan tetap membelenggu. Situasi ini membuat hasil eksploitasi minyak tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat Irak. Hal serupa bisa terjadi di Iran jika skenario Reza Pahlavi dipaksakan. Alih-alih membebaskan rakyat Iran, pemerintahan baru justru bisa menjadi boneka asing yang terjebak dalam kontrak-kontrak jangka panjang yang merugikan.

Tidak hanya itu, hadirnya Reza Pahlavi yang selama ini tinggal di luar negeri dan dikenal dekat dengan lingkaran elite Barat akan menimbulkan resistensi besar di dalam negeri. Rakyat Iran, terlepas dari berbagai kritik terhadap pemerintahannya, tetap memiliki sentimen anti-intervensi asing yang kuat. Figur seperti Pahlavi akan lebih dianggap sebagai simbol kolaborasi dengan musuh lama ketimbang penyelamat bangsa.

Kemungkinan besar, bila terjadi regime change, Iran akan terpecah menjadi beberapa zona kekuasaan seperti Suriah saat ini. Beberapa provinsi mungkin dikuasai kelompok separatis, sebagian lainnya oleh milisi lokal, dan beberapa kota besar akan menjadi ajang perebutan kekuasaan antar faksi. Kondisi ini bisa berujung pada hancurnya struktur pemerintahan, layanan publik lumpuh, dan ekonomi runtuh.

Tak hanya itu, dampak perang saudara di Iran juga bisa merembet ke negara-negara tetangga. Irak, Turki, Afghanistan, Pakistan, dan negara-negara Teluk sangat mungkin terkena imbas instabilitas yang terjadi. Jalur perdagangan minyak di Selat Hormuz bisa terganggu, memicu lonjakan harga energi dunia, dan bahkan memicu krisis global.

Perlu diingat pula, masyarakat Iran telah mengalami pengalaman traumatis di era kekuasaan Shah yang diakhiri Revolusi 1979. Reza Pahlavi adalah anak dari sosok yang dijatuhkan rakyat sendiri karena dianggap terlalu dekat dengan Barat dan menindas rakyatnya. Kehadiran Pahlavi di panggung politik saat ini tidak serta-merta mendapat dukungan, bahkan bisa memicu perlawanan keras dari kelompok pro-republik Islam maupun kelompok nasionalis sekuler.

PBB dalam situasi seperti ini biasanya tak lebih dari penonton. Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya, badan dunia itu gagal mencegah agresi dan hanya mampu memberikan pernyataan politik tanpa tindakan nyata. Jika konflik Iran pecah, kemungkinan besar PBB akan kembali buang badan, sementara rakyat Iran menanggung beban penderitaan perang dan krisis kemanusiaan.

Fakta lain yang jarang dibicarakan adalah kemampuan Iran dalam bertahan. Tidak seperti Irak atau Libya, Iran memiliki jaringan sekutu kuat di kawasan, mulai dari Hizbullah di Lebanon, milisi Hashd al-Shaabi di Irak, hingga Houthi di Yaman. Jika Iran diserang, konflik bisa meluas ke seluruh kawasan dan menciptakan perang regional skala besar yang bisa jauh lebih destruktif daripada perang Irak dan Suriah.

Dalam skenario paling buruk, konflik di Iran bisa memicu migrasi massal jutaan orang ke Eropa, Asia Tengah, dan negara-negara Teluk. Negara-negara tetangga tentu tidak siap menampung gelombang pengungsi dalam jumlah sedemikian besar, yang akan menambah ketegangan geopolitik di kawasan.

Selain itu, pengalaman buruk di Suriah dan Libya seharusnya menjadi pelajaran. Di kedua negara tersebut, negara-negara Barat yang awalnya gencar mempromosikan demokrasi justru meninggalkan negara yang hancur tanpa solusi jangka panjang. Hingga kini, Libya masih tanpa pemerintahan stabil, sementara Suriah masih terjebak dalam perang berkepanjangan.

Wacana menjadikan Reza Pahlavi pemimpin Iran pun bukan hal baru. Setiap kali ketegangan Iran-Barat memuncak, nama Pahlavi selalu dimunculkan sebagai opsi alternatif. Namun kenyataannya, dukungan nyata di dalam negeri terhadap Pahlavi sangat lemah. Sebagian besar rakyat Iran tidak melihatnya sebagai solusi, melainkan ancaman kembalinya era kolonialisme gaya baru.

Singkatnya, semua wacana regime change ke Reza Pahlavi lebih banyak didorong oleh kepentingan geopolitik asing ketimbang nasib rakyat Iran. Bahkan jika berhasil dilakukan, tidak ada jaminan Iran akan lebih maju. Justru kemungkinan besar Iran akan terjerumus dalam perang saudara, penjajahan ekonomi atas ladang minyaknya, dan konflik internal berkepanjangan seperti di Irak dan Libya.

Dunia harus belajar dari sejarah kelam di kawasan ini. Menggulingkan rezim dengan kekerasan dan campur tangan asing tidak pernah menjadi solusi damai dan beradab. Apa pun masalah di Iran, jalan terbaik adalah dialog internal, bukan operasi militer dan pengangkatan pemimpin boneka. Jika tidak, sejarah kelam Suriah dan Libya hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang di Iran.

Dibuat oleh AI
Powered by Blogger.