Sejarah Rumit Iran, Israel, dan Yahudi di Masa Lalu dan Kini
Hubungan antara bangsa Persia dan komunitas Yahudi memiliki sejarah panjang yang penuh dinamika sejak ribuan tahun silam. Pada era Kekaisaran Persia kuno di bawah kepemimpinan Raja Cyrus Agung, bangsa Yahudi bahkan pernah diselamatkan dari perbudakan di Babilonia. Cyrus yang dikenal bijaksana saat itu membebaskan orang Yahudi dan mengizinkan mereka kembali ke Yerusalem untuk membangun kembali Bait Suci yang telah dihancurkan. Karena peristiwa ini, bangsa Yahudi kuno mencatat Cyrus sebagai salah satu pemimpin agung dalam sejarah mereka.
Ketika negara Israel modern didirikan oleh manipulasi Inggris dan Zionisme pengungsi Yahudi dari Eropa paska Nazi pada 1948 disertai genosida dan pengusiran terhadap Palestina (Nakba), posisi Iran — yang saat itu masih di bawah monarki Shah Mohammad Reza Pahlavi — cukup pragmatis. Meski mayoritas dunia Arab menolak keberadaan Israel, Iran menjadi salah satu negara Muslim pertama yang diam-diam menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Tel Aviv. Iran saat itu melihat Israel sebagai sekutu strategis di kawasan dalam menghadapi ancaman Arab nasionalis yang tengah bangkit, khususnya dari Mesir di bawah Gamal Abdel Nasser.
Selama masa Shah, terdapat komunitas Yahudi yang cukup besar di Iran. Sebelum Revolusi Islam 1979, jumlah warga Yahudi di Iran diperkirakan mencapai lebih dari 80 ribu orang. Seiring ketegangan politik di kawasan dan lahirnya negara Israel, gelombang migrasi Yahudi Iran ke Israel pun berlangsung secara bertahap. Sebagian besar dari mereka bermukim di kota-kota seperti Tel Aviv dan Haifa, namun hingga kini masih ada sekitar 8.500–9.000 Yahudi yang tetap tinggal di Iran, menjadikannya komunitas Yahudi terbesar di kawasan Timur Tengah setelah Israel.
Di sisi lain, sebelum Revolusi Iran, hubungan Iran dengan Palestina tidaklah seerat seperti sekarang. Iran di era Shah lebih dekat dengan Barat dan Israel, dan tidak memberikan sokongan berarti bagi perjuangan rakyat Palestina. Intelijen Israel bahkan terlibat langsung dalam menindas rakyat Iran melalui lembaga polisi rahasia SAVAK yanh terkenal kejam.
Kondisi berubah drastis ketika Revolusi Islam meletus. PLO (Palestine Liberation Organization) yang kala itu dipimpin Yasser Arafat dari generasi baru pengungsi Palestina di luar negeri adalah salah satu kekuatan yang aktif mendukung kelompok revolusioner Iran melawan Shah. Rakyat Iran mendukung Palestina karena kekejaman dinas rahasia SAVAK Iran yang dikendalikan Israel dkk.
Bahkan menurut sejumlah sumber sejarah, PLO turut membantu melatih para pejuang revolusi Iran dari berbagai kelompok di kamp-kamp militer mereka di Lebanon dan kawasan lain. Setelah kemenangan Revolusi Islam, pemimpin tertinggi Ayatollah Khomeini pun menyatakan Iran akan menjadi pendukung utama perjuangan Palestina melawan Israel. Konsulat Israel di Teheran diubah menjadi kedutaan Palestina, sebuah langkah simbolis yang mengukuhkan perubahan total kebijakan luar negeri Iran.
Pasca berdirinya Garda Revolusi Islam (IRGC), PLO juga disebut terlibat memberikan pelatihan dasar militer. Hubungan ini berjalan cukup erat hingga dekade 1980-an. Namun seiring waktu, relasi antara Iran dan PLO mulai merenggang, terutama setelah Yasser Arafat menandatangani Perjanjian Oslo dengan Israel pada 1993. Bagi Iran, kesepakatan itu dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina karena melegitimasi eksistensi Israel di tanah yang masih disengketakan.
Dan itu terbukti benar. Genosida dan penindasan warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari Perjanjian Oslo.
Sejak kerenggangan itu, Iran mengalihkan dukungan kepada faksi perlawanan lain, terutama Hamas yang dikenal lebih keras menentang penjajahan dan penindasan Tel Aviv kepada warga Palestina dan menolak kompromi dengan persekusi Israel.
Ketika Hamas memenangkan pemilu legislatif Palestina tahun 2006 dan memegang pemerintahan di Jalur Gaza, hubungan antara Teheran dan Hamas pun kian erat. Iran menjadi penyokong utama persenjataan, dana, dan pelatihan bagi pemerintahan Hamas dalam menghadapi blokade dan penindasan Israel.
Dari sisi sejarah kuno, Persia dan Yahudi memiliki sejumlah jejak interaksi yang menarik. Selain kisah Raja Cyrus, dalam kitab suci Yahudi disebutkan pula tentang ratu Esther yang menyelamatkan komunitas Yahudi Persia dari pembantaian di masa pemerintahan Raja Xerxes. Hubungan timbal balik ini meninggalkan jejak budaya dan sejarah yang panjang, meski di masa modern bertransformasi menjadi ketegangan geopolitik.
Di belakang layar, hubungan antara kelompok Yahudi diaspora dan pejabat Iran kadang masih berlangsung meski diwarnai ketegangan resmi. Beberapa laporan intelijen menyebutkan adanya komunikasi rahasia dalam isu kemanusiaan atau pertukaran tahanan. Isu ini makin ramai ketika Presiden Mahmoud Ahmadinejad di masa pemerintahannya menuduh beberapa pejabat militer Iran telah disusupi agen Mossad. Tuduhan tersebut memicu polemik internal di Iran, memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan Teheran dan jaringan intelijen Israel.
Meskipun demikian, komunitas Yahudi di Iran tetap memperoleh perlindungan hukum di bawah konstitusi Republik Islam. Mereka memiliki perwakilan di parlemen Iran, sinagoge yang aktif, dan sekolah Yahudi di sejumlah kota besar seperti Teheran dan Isfahan, karena itu pula posisi dan alamat pejabat Iran saat ini mudah diketahui Israel untuk asasinasi melalui agen-agen Mossad yang menyeludup di kalangan warga Yahudi Iran.
Meski sering dijadikan alat propaganda oleh Israel dan oleh pemerintah Iran untuk menunjukkan toleransi, komunitas ini tetap hidup di bawah bayang-bayang konflik geopolitik Iran-Israel.
Dari sisi geopolitik modern, ketegangan Iran-Israel kian meningkat dalam dua dekade terakhir, utamanya soal program nuklir Teheran. Israel menjadikan isu nuklir ini dan menganggap Iran sebagai ancaman eksistensial dan sebagai preteks untuk sabotase dan menyerang Iran, khususnya setelah kendali Israel di lembaga-lembaga pemerintahan Iran berakhir setelah penggulingan Shah.
Sementara Iran memandang Israel sebagai proyek kolonial yang menindas rakyat Palestina. Meski hubungan diplomatik resmi terputus sejak 1979, operasi intelijen kedua negara berlangsung sengit di balik layar, bahkan hingga ke wilayah ketiga di Afrika, Eropa, dan Asia Tengah.
Meski begitu, sejumlah tokoh Yahudi Iran di luar negeri masih aktif melakukan diplomasi budaya untuk meredakan ketegangan. Beberapa akademisi dan aktivis diaspora mencoba menjembatani dialog antar komunitas Yahudi dan Iran di AS dan Eropa. Sayangnya, upaya ini kerap kalah oleh derasnya arus politik konflik di kawasan.
Saat ini, usai genosida di Palestina yang tak henti dan asasinasi pejabat Teheran yang berketerusan, Iran menjadi satu-satunya negara di kawasan yang secara terbuka menyerukan penghapusan Israel dari peta politik. Iran mendukung berbagai faksi perlawanan yang selama ini ditindas dan ditarget Israel di Palestina, Lebanon, dan Suriah sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan agresif Israel di Timur Tengah. Konsekuensinya, Iran juga menjadi target operasi rahasia, sanksi ekonomi, dan blokade diplomatik oleh AS dan sekutunya.
Kilas balik sejarah ribuan tahun hubungan Persia dan Yahudi memperlihatkan bahwa hubungan mereka pernah berjalan damai, bahkan saling menyelamatkan. Namun dalam politik modern dan pendirian negara Israel yang baru paska era Nazi Jerman, ketegangan ideologis, konflik kawasan, penjajahan Palestina dan ambisi geopolitik Israel untuk mendominasi dan menindas tetangganya telah memisahkan dua bangsa ini dalam posisi berseberangan yang semakin sulit dijembatani.
Di masa depan, apakah hubungan ini bisa kembali didekati melalui jalur budaya atau kemanusiaan masih menjadi pertanyaan. Yang pasti, sejarah mencatat hubungan Persia dan Yahudi pernah penuh warna, dari penyelamatan hingga permusuhan abadi di era modern. Sebuah dinamika yang menjadi cermin betapa sejarah Timur Tengah selalu rumit dan sarat kepentingan di balik layar.
Dibuat oleh AI
Post a Comment